Politik identitas demikian dalam
kaitan dengan pluralisme merupakan suatu persoalan yang pelik. Di satu sisi, ia
muncul sebagai tanggapan atas pluralisme yang menolak konstelasi hirarkis nilai-nilai
sebagaimana dianut oleh kaum monistis-absolutis karena dianggap sebagai suatu
penindasan terhadap keberbedaan. Di sisi lain, penolakan tersebut dalam proses
pemadatan yang sedemikian rupa, berdampak pada justifikasi sempit berbasis
identitas tertentu. Hal ini menunjukan bahwa politik identitas berkemungkinan
untuk terjebak dalam apa yang J. Habermas katakan sebagai performativer widespruch[1]
(kontradiksi performatif). Hal ini tidak berarti bahwa politik identitas
merupakan hal yang buruk. Oleh karena itu, penting memahami pluralisme sebagai
salah satu paradigma yang memiliki ‘cara bermain’ dalam memandang keberbedaan.
Berkaca pada persoalan yang
dikemukakan, muncul suatu pertanyaan mendasar yakni sejauh mana politik
identitas dapat dilihat sebagai suatu tanggapan yang benar-benar tepat terhadap
pluralisme? Melalui tulisan sederhana ini, pertama,
penulis hendak mengajak pembaca melihat bagaimana sejumlah fakta pengerasan dalam
politik identitas baik dalam skala nasional maupun dalam cakupan lokal yakni
provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) terkhusus di Flores bisa saja berlawanan
dengan pluralisme. Kedua, dengan melandas-pijakan
pemikiran pada pandangan John Kekes tentang moralitas pluralisme (morality of pluralism), penulis hendak menunjukan
dalam pengandaian mana politik identitas dapat diverifikasi dan difalsifikasi
sebagai tanggapan yang tepat terhadap pluralisme. Hal ini, juga dengan
sendirinya menegaskan posisi dari pluralisme yang berbeda dengan paradigma monisme-absolutis
dan relativisme.
Buku Pluralisme dalam Bahasa Indonesia ini dapat didownload di link di bawah ini:
<a href="http://adf.ly/WbgZt" target="_blank"><b>DOWNLOAD</b></a>