Minggu, 29 September 2013

DOWNLOAD BUKU PLURALISME



Politik identitas demikian dalam kaitan dengan pluralisme merupakan suatu persoalan yang pelik. Di satu sisi, ia muncul sebagai tanggapan atas pluralisme yang menolak konstelasi hirarkis nilai-nilai sebagaimana dianut oleh kaum monistis-absolutis karena dianggap sebagai suatu penindasan terhadap keberbedaan. Di sisi lain, penolakan tersebut dalam proses pemadatan yang sedemikian rupa, berdampak pada justifikasi sempit berbasis identitas tertentu. Hal ini menunjukan bahwa politik identitas berkemungkinan untuk terjebak dalam apa yang J. Habermas katakan sebagai performativer widespruch[1] (kontradiksi performatif). Hal ini tidak berarti bahwa politik identitas merupakan hal yang buruk. Oleh karena itu, penting memahami pluralisme sebagai salah satu paradigma yang memiliki ‘cara bermain’ dalam memandang keberbedaan.
Berkaca pada persoalan yang dikemukakan, muncul suatu pertanyaan mendasar yakni sejauh mana politik identitas dapat dilihat sebagai suatu tanggapan yang benar-benar tepat terhadap pluralisme? Melalui tulisan sederhana ini, pertama, penulis hendak mengajak pembaca melihat bagaimana sejumlah fakta pengerasan dalam politik identitas baik dalam skala nasional maupun dalam cakupan lokal yakni provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) terkhusus di Flores bisa saja berlawanan dengan pluralisme. Kedua, dengan melandas-pijakan pemikiran pada pandangan John Kekes tentang moralitas pluralisme (morality of pluralism), penulis hendak menunjukan dalam pengandaian mana politik identitas dapat diverifikasi dan difalsifikasi sebagai tanggapan yang tepat terhadap pluralisme. Hal ini, juga dengan sendirinya menegaskan posisi dari pluralisme yang berbeda dengan paradigma monisme-absolutis dan relativisme.

Buku Pluralisme dalam Bahasa Indonesia ini dapat didownload di link di bawah ini:
 <a href="http://adf.ly/WbgZt" target="_blank"><b>DOWNLOAD</b></a>


[1] Otto Gusti, Hak-Hak Asasi Manusia (Mns.) ( Maumere: Ledalero,2011),  p. 20.

Selasa, 07 Mei 2013

Download PDF Book Kamus Oxford Literary Terms

Oxford Concise Dictionary of Literary Terms


Bagi anda yang sangat menyukai bahasa Inggris dan ingin mempelajarinya lebih dalam, Kamus Oxford bisa menjadi salah satu alternatif. Salah satu kamus buatan Universitas Oxford yang saya postingkan kali ini adala  Oxford Concise Dictionary for Literary Terms

Untuk mendapatkannya, silahkan klik tombol : DOWNLOAD

Download PDF Book Kamus Besar Bahasa Indonesia


Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa adalah kamus ekabahasa resmi bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kamus ini menjadi acuan tertinggi bahasa Indonesia yang baku, karena kamus ini merupakan kamus bahasa Indonesia terlengkap dan yang paling akurat yang pernah diterbitkan oleh penerbit yang memiliki hak paten dari pemerintah Republik Indonesia. Hingga saat ini sejak KBBI terbit pertama kali pada tahun 1988 sudah mengalami tiga kali revisi. Edisi terakhir adalah edisi keempat yang cetakan pertamanya diterbitkan pada tahun 2008.

Pada tahun 2008 Pusat Bahasa juga menyediakan KBBI edisi III dalam format daring. Tujuan dari KBBI ini adalah untuk memudahkan akses bagi para pengguna Bahasa Indonesia untuk dapat menggunakan KBBI dimanapun dan kapanpun di seluruh dunia, tanpa menggunakan versi cetak KBBI. 
Edisi pertama (1988)
Edisi pertama adalah hasil pengembangan dari Kamus Bahasa Indonesia yang terbit pada tahun 1983. Kamus ini baru memuat 62.100 lema.
Edisi kedua (1991)
Edisi kedua adalah revisi pertama KBBI dan memuat 72.000 lema.
Edisi ketiga (2005)
Edisi ketiga memuat 78.000 lema. Menurut Dr. Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa, kamus ketiga ini masih terasa banyak sekali kosakata yang belum masuk. Tetapi harap diingat bahwa KBBI adalah Kamus Umum berisi kosakata umum, sehingga dalam kamus tidak termasuk berbagai istilah. Untuk penggunaan kamus bidang ilmu tertentu Pusat Bahasa juga memiliki kamus Istilah.
Edisi keempat (2008)
Edisi keempat memuat lebih dari 90.000 lema. Pada edisi ini KBBI diperkaya kosakata yang berasal dari kamus istilah, pada edisi ini kamus disusun berdasarkan paradigma.
Edisi kelima
Edisi kelima kemungkinan besar akan dirilis pada tahun 2013, dengan perkiraan penambahan kata sekitar 2.000 kata.
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan atau KBBI daring merupakan versi daring dari KBBI III yang diluncurkan pada tahun 2008.

Silahkan Download Kamus dengan Klik link ini:
http://adf.ly/Wbm6n

atau link:

DOWNLOAD

Download PDF Book Cambridge Dictionary of Sociology


Universitas Cambridge (bahasa Inggris: Cambridge University; bahasa Latin: Universitas Cantabrigiensis) adalah universitas kedua-tertua dalam dunia bahasa Inggris, dengan persyaratan masuk yang paling ketat di Britania Raya.

Afiliasi dari Universitas Cambridge telah memenangkan 80 Penghargaan Nobel, lebih banyak dari universitas lain di dunia. Dari 80 pemenang Penghargaan Nobel ini, 70 pernah menghadiri Cambridge sebagai murid prasarjana atau pasca-sarjana, dan bukan sebagai "associate" riset, "fellow" atau profesor (Universita Chicago di urutan ke-2 dalam afiliasi pemenang Penghargaan Nobel, dengan 79 orang, tetapi hanya 30 yang pernah belajar di Universitas Chicago sebagai murid prasarjana atau pasca-sarjana).

Cambridge adalah anggota dari Grup Russell (sebuah jaringan besar, universitas Britania yang berorientasi riset), Grup Coimbra (sebuah perhimpunan universitas terkemuka Eropa), dan LERU (League of European Research Universities, Liga Universitas Riset Eropa).

Catatan awal sudah tidak tersimpan lagi, namun universitas ini tumbuh dari sebuah perhimpunan sarjana di kota Cambridge, Cambridgeshire, Inggris, kemungkinan dibentuk pada 1209 oleh sarjana yang kabur dari Universitas Oxford setelah bertengkar dengan penduduk kota.

 Universitas Oxford dan Cambridge, sering dijuluki Oxbridge, telah memiliki sejarah kompetisi yang lama satu sama lain, dan dipandang luas sebagai universitas paling elit dan bergengsi di Britania Raya. Berdasarkan sejarah, mereka telah menghasilkan sejumlah ilmuwan, penulis, dan politisi Britania yang terkenal.

Afiliasi dari Universitas Cambridge telah memenangkan 80 Penghargaan Nobel,  lebih banyak dari universitas lain di dunia.[2] Dari 80 pemenang Penghargaan Nobel ini, 70 pernah menghadiri Cambridge sebagai murid prasarjana atau pasca-sarjana, dan bukan sebagai "associate" riset, "fellow" atau profesor (Universita Chicago di urutan ke-2 dalam afiliasi pemenang Penghargaan Nobel, dengan 79 orang, tetapi hanya 30 yang pernah belajar di Universitas Chicago sebagai murid prasarjana atau pasca-sarjana).

Cambridge adalah anggota dari Grup Russell (sebuah jaringan besar, universitas Britania yang berorientasi riset), Grup Coimbra (sebuah perhimpunan universitas terkemuka Eropa), dan LERU (League of European Research Universities, Liga Universitas Riset Eropa).

Dalam hal Produksi kamus-kamus, Cambridge menjadi salah satu institusi yang cukup disegani. Salah satu kamus yang saya postingkan di sini ialah Cambridge Dictionary of Sociology. Kamus ini dapat digunakan sebagai suatu pegangan terutama dalam mendalami persoalan-persoalan sosiologi secara konseptual.

silahkan download kamusnya pada link di bawah ini:

DOWNLOAD

Download PDF Book Free Explaining Postmodernism: Skepticism and Socialism from Rousseau to Foucault Stephen R. C. Hicks

 
 Stephen Craig Ronald Hicks Ph.D







Stephen Craig Ronald Hicks Ph.D(lahir 1960) adalah seorang profesor Kanada-Amerika di bidang filsafat pada Rockford College, Illinois, di mana ia juga mengarahkan pada Etika dan Kewirausahaan.Melalui bukunya Explaining Postmodernism: Skepticism and Socialism from Rousseau to Foucault  Stephen R. C. Hicks coba menjelaskan Postmodernisme dalam suatu kerangka proses mulai dari  Skeptisisme dan Sosialisme dari Rousseau sampai pada pemikiran Foucault

Bukunnya ini telah diterjemahkan dalam sejumlah bahasa diantaranya   Persia dan Spanyol. Rich berpendapat postmodernisme yang paling baik dipahami sebagai strategi retorika intelektual dan akademisi di ujung-Kiri dari spektrum politik kegagalan sosialisme dan komunisme.

Selain itu, Hicks telah menerbitkan sejumlah artikel dan esai tentang berbagai mata pelajaran, termasuk kebebasan berbicara di ruang akademisi, sejarah dan perkembangan seni rupa modern, Obyektivisme Ayn Rand, etika bisnis, dan filsafat pendidikan, termasuk serangkaian kuliah YouTube.

Hicks juga merupakan co-editor, dengan David Kelley, dari buku berpikir kritis, The Art of Reasoning: Readings for Logical Analysis.



 Buku dari Stephen Rich dapat di download di sini: 

DOWNLOAD

Senin, 06 Mei 2013

Postmodernisme: Sebuah Pemgantar



Wacana intelektual dan populer di dunia pada umumnya masih kuat diwarnai oleh postmodernisme. Kalau pada tahun 1980-an dunia diskusi ditandai oleh perdebatan intelektual mengenai peristilahan, maka sekarang yang banyak dijumpai adalah berbagai judul buku yang menyertakan kata postmodernisme. Sepertinya fase perdebatan istilah sudah berlalu. Postmodernisme sudah diterima sebagai sebuah istilah, kendati masih harus selalu dipertegas, apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengannya. Hal ini penting, karena pada awalnya orang ramai-ramai berbicara tentang yang modern dan yang posmo. Posmo dianggap sebagai nama lain dari „in“. Semua yang „in“, yang sedang menjadi trend umum, disebut sebagai posmo. Penggunaan istilah seperti ini lebih banyak menimbulkan soal daripada membantu. Memang, ada ketidakjelasan dalam penggunaan istilah postmodernisme itu sendiri, bukan hanya di Indonesia, tetapi dalam perdebatan umumnya di antara para terpelajar dunia.
Sebagaimana banyak disinyalir, ternyata ada banyak sekali klaim postmodernisme yang simpang siur. Ada yang melukiskan kesimpangsiuran itu sebagai berikut: „Situasi postmodern telah tiba dan membingungkan para intelektual, seniman dan penggagas-penggagas kebudayaan. Mereka semua terheran apakah mereka harus menaiki kendaraan dan menikmati karnaval atau berdiam diri di luar garis batas sampai mode baru lenyap dalam kebingungan kebiasaan baru“.[1]
Postmodernisme sering dijadikan umpatan untuk menolak semua yang baru, atau sebagai tameng untuk melindungi segala kebobrokan dan kemalasan untuk mempertanggungjawabkan secara rasional apa yang dilakukan. Atau orang menyamakan postmodernisme dengan dekadensi moral dan merebaknya irasionalitas secara total dan karena itu menolaknya secara a priori, atau orang memandangnya sebagai pembenaran atas prinsip anything goes, yang membenarkan segala sesuatu dan karena itu membebaskan orang dari kewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu.
Untuk membantu pemahaman lebih lanjut, perlu dipegang pembedaan yang banyak dijumpai dalam literatur postmodernisme: postmodernisme gaya Disneyland dan postmodernisme yang serius. Postmodernisme Disneyland diartikan sebagai satu pandangan dan gaya hidup yang membenarkan segala sesuatu, satu relativisme total, yang menarik diri dari segala pergumulan ideal. Yang menjadi prinsip di sini adalah kesenangan. Seperti Disneyland yang menawarkan berbagai hiburan yang dapat dipilih dan diganti untuk menyenangkan hati, demikian pola pikir dan pandangan hidup ini tidak mempunyai pegangan lain selain kenikmatan.
Berbeda dari postmodernisme Disneyland adalah postmodernisme yang memiliki keseriusan, memperjuangkan nilai tertentu dengan menguras pikiran dan menyusun gagasan. Postmodernisme dalam pengertian ini bukanlah satu gaya hidup dan pola pikir yang hanya berorientasi pada kesenangan, yang tidak memperhatikan lagi persoalan kebenaran. Sebaliknya, postmodernisme adalah usaha yang serius untuk mencari kebenaran. Orang mencari dan menggagas sendiri kebenaran, bukan lagi sekadar membela kebenaran yang telah ditradisikan. Ya, postmodernisme boleh jadi adalah ungkapan yang sejatinya dari pencarian kebenaran. Kebenaran mesti dicari terus-menerus, karena tidak pernah ada identifikasi diri yang total dari kebenaran.
Hemat saya, inilah kondisi yang diprediksikan Nietzsche setelah Allah mati: ketika Allah sudah mati, kita tidak memiliki orientasi yang tegas dan otoritatif tentang kiri dan kanan, atas dan bawah, benar dan salah, baik dan buruk. Kita mesti menentukan itu sendiri. Kita tetap memiliki kebutuhan untuk itu, tetapi tugas itu tidak dapat didelegasikan kepada yang lain. Sebab itu, sebenarnya dalam era postmodernisme kebajikan yang utama bukan lagi ketaatan, melainkan kreativitas. “Postmodern dapat mempresentasikan sesuatu karena memiliki kreativitas, tidak terkungkung pada satu cara pandang, tidak terbelenggu oleh tradisi, menjadi lincah mengembangkan (cara) berpikir divergen, horizontal…”[2]
Secara sangat umum dapat dikatakan bahwa postmodernisme adalah pengalaman pluralitas yang radikal dan usaha rasional untuk menggapi pengalaman ini. Di dalam pluralitas ini tidak ada lagi grand narratives, yang ada hanyalah little narratives. Postmodernisme mengklaim menolak adanya satu otoritas yang tertinggi yang menjadi rujukan pembenaran tindakan dan pemikiran, yang dapat dipakai untuk memaksakan kriterianya untuk dijadikan normatif bagi semua orang. Orang tetap hendak mengejar apa yang menurutnya benar, tetapi kebenaran itu mesti dicarinya sendiri, dengan menggunakan berbagai masukan dan informasi yang ada di sekitarnya. Tidak ada kebenaran terberi! Yang ada hanyalah kebenaran yang terus menerus dicari, yang dikreasikan secara provisoris dipertanggungjawabkan sendiri, dan kemudian dicari lagi.
Dalam teori kebudayaan kita juga dapat menyebut postmodernisme sebagai dediferensiasi.[3] Meminjam trikotomi yang dipakai Habermas, lingkup estetika, moral-praktis dan teori didediferensiasi. Zaman pramodern disebut sebagai zaman tanpa diferensiasi. Semuanya ada dalam satu wadah, satu personifikasi. Kemudian, dalam zaman modern terjadi proses diferensiasi. Orang berbicara mengenai Ausdifferenzierung. Apa yang didiferensiasi secara ketat dalam masa modern, kini didediferensiasi. Perbedaan-perbedaan yang ketat dengan sekat-sekat yang tegas, mulai mengalir. Dengan ini, yang ada adalah pluralitas yang radikal. Pluralitas yang radikal tidak dialami sebagai pemilahan yang tegas, melainkan kehadiran yang serentak dari sekian banyak yang berbeda di dalam satu masyarakat, di dalam satu periode, di dalam satu kehidupan. Definisi Habermas tentang globalisasi dapat dipakai juga untuk mendefinisikan postmodernitas „Gleichzeitigkeit der Ungleichzeitigkeiten“: keserentakan dari berbagai ketidakserentakan. Maksudnya: yang berbeda dari kurun waktu, ada bersama pada waktu yang bersamaan; yang berasal dari tempat-tempat yang berlainan, hadir bersama di tempat yang sama. Apa yang sebelumnya selalu dikonotasikan dengan tempat atau kelompok tertentu, kini dapat ditemukan pada tempat dan kelompok lain.
Dalam rangka agama, kini orang berbicara lagi tentang munculnya kembali politeisme atau sinkretisme, menggantikan monoteisme yang tegas dan dogmatisme agama. Dalam dunia pekerjaan ada tendensi ke arah penataan ruang kerja seperti tempat tinggal, dan tempat tinggal menyerupai ruang kerja. Relasi majikan-pekerja hendak dibangun seperti relasi kekeluargaan. Batas antara ruang kerja dan ruang hidup menjadi mengalir. Dalam bidang olahraga unsur estetis menjadi hal yang semakin mendapat perhatian. Tim-tim yang hanya berpedoman pada efektivitas, tidak lagi mendapat dukungan yang luas seperti tim-tim yang juga memperhatikan keindahan permainan.  
Kita melihat tiga persoalan kompleks dalam kaitan dengan postmodernisme. Pertama berkenaan dengan filsafat dalam arti yang sempit, yakni sebagai usaha untuk mencari dan merumuskan yang benar. Bagaimana mesti memahami filsafat sebagai satu usaha tanpa akhir untuk mencari kebenaran di tengah pluralitas yang radikal? Apakah masih ada yang benar, yang dapat diperjuangkan sebagai kriterium kelurusan berpikir dan ketepatan bertindak, apabila hanya ada pluralitas dan tidak ada lagi yang satu? Pertanyaan ini sebenarnya akan mengantar kepada pengujian, apakah postmodernisme itu sendiri dapat secara konsisten mempertahankan klaim penolakannya di atas, dan bagaimana postmodernisme menentukan relasi antara berbagai tawaran kebenaran yang memiliki hak hidupnya masing-masing.
Pertanyaan mengenai epistemologi dan etika akan menjadi sangat aktual dan membutuhkan pendalaman. Pertanyaan ini akan menghadapkan kita pada satu pertanyaan yang sangat serius: apakah postmodernisme berarti runtuhnya semua nilai? Apakah postmodernisme sama dengan relativisme total dalam epistemologi dan moral? Ataukah masih ada sesuatu yang perlu diperjuangkan? Apakah postmodernisme mengandung sebuah cita-cita, atau menganjurkan terlepasnya segala cita-cita sebab cita-cita dialami sebagai sesuatu yang mengharuskan orang memperhamba diri sendiri dan memeras orang lain? Apakah postmodernisme adalah satu penyerahan total pada kenyataan, satu amor fati, sebuah deskripsi atas kenyataan tanpa sesuatu lagi yang normatif? Juga di sini kita mesti menguji, sejauh mana postmodernisme sendiri patuh pada klaim yang diteriakkan sejumlah wakilnya.
Di satu pihak memang ada pengalaman bahwa memiliki cita-cita, apalagi jika cita-cita itu dimiliki secara kolektif dan karena itu telah menjadi ideologi, dapat berakibat pada penghambaan manusia. Abad ideologi dialami dan ditafsir sebagai abad pembelengguan masyarakat dunia dalam penjara ketakutan dan saling mencurigai. Orang juga dapat mengalami adanya cita-cita pribadi sebagai sesuatu yang membelenggu. Orang bisa terkesan memaksa diri demi terwujudnya sebuah cita-cita dan karena itu kehilangan kegembiraan yang tampaknya menjadi ciri kehidupan yang diidealisasi banyak orang. Seperti Nietzsche, postmodernisme dapat dilihat sebagai satu pandangan hidup yang menolak moral tuan dan hamba. Yang harus diperjuangkan sebagai tujuan hidup adalah kegembiraan dalam kenikmatan.
Tetapi pada pihak lain tampaknya mustahil menjalankan sebuah kehidupan tanpa adanya apa yang disebut sebagai cita-cita. Tidak mungkin kita mempertahankan sebuah komunitas kalau tidak ada tujuan yang hendak dikejar dan diwujudkan bersama, baik tujuan yang dirumuskan secara jelas maupun yang terselubung. Namun pada pihak lain mesti juga diperhatikan keberatan yang berangkat dari pengalaman bahwa sangat sering terjadi, atas nama cita-cita bersama, sebagian orang ditindas. Bagaimana postmodernisme menjelaskan penolakannya atas cita-cita di hadapan kenyataan eksistensial di atas? Atau bagaimana postmodernisme menggagaskan konsep manusia dan masyarakat yang tidak saling menghancurkan? Apakah kreativitas dan kebebasan hanya mungkin kalau grand narratives dihilangkan?
Kedua, berkaitan dengan pengalaman eksistensial manusia. Pluralitas yang dialami adalah juga pluralitas dalam kehidupan seseorang, pluralitas peran yang mesti manusia mainkan dalam kehidupannya. Dengan hilangnya ideal yang otoritatif, tawaran yang dapat dan boleh diambil setiap orang pun menjadi semakin plural. Apabila dulu, dalam masa modern, orang hanya dapat menjadi pekerja di tempat tertentu apabila orang memiliki ijazah formal tertentu, berasal dari wilayah tertentu, memeluk agama tertentu dan menunjukkan moralitas tertentu, mempunyai ritme dan gaya hidup tertentu, maka sekarang, persoalan pekerjaan tidak lagi secara niscaya dihubungkan dengan berbagai hal lain.
Dalam waktu yang singkat dan mungkin pada tempat yang sama orang harus memainkan beberapa peran sekaligus. Yang menjadi masalah adalah bahwa aturan-aturan itu sering sama sekali tidak saling berhubungan, malah saling bertentangan. Dengan demikian orang memainkan peran-peran yang sebenarnya saling bertentangan kaidahnya dalam satu kehidupan yang sama. Hidup terasa menjadi semakin fragmentaris.
Fragmentasi adalah kenyataan yang mempertanyakan titik pusat dan kesatuan. Hidup yang fragmentaris adalah hidup yang kesatuannya dipertanyakan. Sebab itu, dalam era postmodern orang berbicara tentang kematian subjek. Di tengah kehidupan yang terpecah secara demikian, menjadi pertanyaan yang sangat serius: apakah masih ada identitas diri? Bagaimana kita mesti memahami identitas diri atau subjektivitas manusia? Apakah yang menghubungkan peran-peran itu, selain bahwa aku adalah subjeknya? Entahkah ada nilai yang lebih tinggi dan luhur, yang mengatasi peran-peran ini, yang menjadi benang merah yang merangkai batu-batu peran ini menjadi sebuah mosaik yang bentuknya aku sendiri sudah rancangkan?
Di dalam kondisi seperti di atas, selama orang masih mempunyai satu ideal, maka orang akan mengalami keterpecahan diri, mengalami schizophrenia. Dia merasa menjadi diri yang tidak utuh. Karena itu orang menjadi psikopat. Dia mempunyai satu ideal, tetapi tak mampu merangkai semua aktivitasnya di bawah ideal yang satu itu. Namun, tampaknya dewasa ini keterpecahan diri karena benturan kaidah dari berbagai peran yang mesti dimainkan seseorang tidak lagi mendatangkan permasalahan, sebab hal ini memang sudah dianggap wajar. Usaha untuk mendefinisikan diri, untuk mengarahkan diri kepada satu nilai besar yang diabdi dan yang terungkap dalam segala tindak dan kata, menjadi kian sulit. Orang tidak hanya mempunyai satu wajah, juga bukan hanya dua, tetapi banyak wajah. Terkadang, moralitas yang digunakan pun ganda, tanpa adanya rasa bersalah. Pluralitas bukan hanya masalah sosial, tetapi adalah juga persoalan eksistensial setiap orang.
Ketiga, berkaitan dengan istilah dan cakupannya. Sebenarnya kita dapat melihat tiga bidang cakupan postmodernisme: satu masa historis baru, satu budaya baru dan satu tipe teoritisasi yang baru. Kita akan menjumpai di dalam kuliah ini sejumlah pemikir yang sungguh-sungguh menggagaskan pemikirannya berdasarkan analisis atas budaya baru yang hidup di dalam masyarakat. Analisis ini melahirkan konsep filosofis tertentu.
Kesulitan lain dalam pembicaraan tentang postmodernisme adalah arti dasar dari istilah itu sendiri. Bagaimana mesti memahami makna post? Apakah post hanya sekadar berarti sesudah? Itu berarti post menunjuk pada rentang waktu. Dengan demikian, postmodernisme adalah masa setelah modernisme. Filsafat postmodernisme merangkum semua aliran filofosis setelah masa modern. Dalam pengertian ini postmodernisme dapat dikatakan menghadapi persoalan yang sama seperti modern atau modernisme apabila digunakan sebagai sebutan untuk mengungkapkan generasi atau rentang waktu tertentu. Anda mungkin masih ingat dari pelajaran sastra Indonesia, bahwa pada tahun enam puluhan Ajip Rosidi pernah menganjurkan nama “Angkatan Modern” bagi kelompok para sastrawan yang bergiat pada tahun enam puluhan. Tanggapan kritis terhadap nama ini menggunakan argumentasi, bahwa setiap angkatan adalah modern, dalam pengertian sesuai zamannya, dan bahwa penggunaan nama seperti ini akan menyulitkan penamaan angkatan sesudah angkatan ini.
Ada yang berpendapat bahwa makna awal post berkonotasi negasi: postmodernisme adalah negasi terhadap modernisme. Apa yang menjadi ideal dari modernisme, yakni rasionalitas dan bersama dengannya moralitas universal, ditolak. Karena postmodernisme dilihat sebagai antimodern, maka dia disamakan dengan antirasionalitas, antimoralitas. Kita akan lihat, apakah pandangan seperti benar atau sejauh mana ada kebenaran yang terkandung di dalam pandangan seperti ini.
Selain itu, ada yang melihat postmodernisme sebagai kritik atas modernisme. Itu berarti, tidak ada penolakan total atas apa yang telah dicapai oleh modernisme atau malah apa yang menjadi cita-cita modernisme. Postmodernisme adalah satu usaha radikal untuk mewujudkan impian modernitas yang sebenarnya telah diingkari oleh modernitas dalam sejarahnya.
Saya lebih melihat postmodernisme dalam pengertian terakhir ini. Jadi, postmodernisme tidak sekadar merujuk pada satu epoche dalam perkembangan peradaban manusia, melainkan pada sejumlah sikap, nilai, kepercayaan dan perasaan seputar apa artinya hidup pada abad ke-20 ini. Warna dasar dari postmodernisme adalah sikap kritis-skeptis (Dave Robinson, Nietzsche 35). Dari skeptisisme lahir kreaktivitas dan divergensi dalam berpikir. Tentu saja, konsep yang bersifat kritis ini hanya mungkin timbul setelah adanya obyek kritiknya. Sebab itu, postmodernisme memang muncul setelah modernisme. Tetapi bukan dalam arti menggantikan, melainkan mengkritik. Postmodernisme mengkritik strukturalisme, rasionalisme, objektivisme. Tetapi apakah postmodernisme adalah kritik melulu tanpa sebuah titik tiba? Titik tiba itu, dalam kerangka kritik terhadap modernisme, akan dibicarakan kemudian. Namun sekarang sudah dapat dikatakan bahwa titik tiba adalah satu pemahaman dan penggunaan rasionalitas yang tidak direduksi menjadi efisiensi dan pragmatisasi, melainkan berciri holistis, yang memberi juga ruang kepada yang irasional. Selain itu, yang menjadi titik tuju adalah kebebasan berpikir[4]. 



[1] George Ritzer, Teori Sosial Postmodern (Yogyakarta: Kreasi Wacana,??), hlm. 7.
[2] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu. Positivisme, PostPostivisme dan PostModernisme, edisi II (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001), hlm. 204.
[3] Scott Lash, Sosiologi Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
[4] Ibid., hlm. 216-217.