Senin, 06 Mei 2013

Postmodernisme: Sebuah Pemgantar



Wacana intelektual dan populer di dunia pada umumnya masih kuat diwarnai oleh postmodernisme. Kalau pada tahun 1980-an dunia diskusi ditandai oleh perdebatan intelektual mengenai peristilahan, maka sekarang yang banyak dijumpai adalah berbagai judul buku yang menyertakan kata postmodernisme. Sepertinya fase perdebatan istilah sudah berlalu. Postmodernisme sudah diterima sebagai sebuah istilah, kendati masih harus selalu dipertegas, apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengannya. Hal ini penting, karena pada awalnya orang ramai-ramai berbicara tentang yang modern dan yang posmo. Posmo dianggap sebagai nama lain dari „in“. Semua yang „in“, yang sedang menjadi trend umum, disebut sebagai posmo. Penggunaan istilah seperti ini lebih banyak menimbulkan soal daripada membantu. Memang, ada ketidakjelasan dalam penggunaan istilah postmodernisme itu sendiri, bukan hanya di Indonesia, tetapi dalam perdebatan umumnya di antara para terpelajar dunia.
Sebagaimana banyak disinyalir, ternyata ada banyak sekali klaim postmodernisme yang simpang siur. Ada yang melukiskan kesimpangsiuran itu sebagai berikut: „Situasi postmodern telah tiba dan membingungkan para intelektual, seniman dan penggagas-penggagas kebudayaan. Mereka semua terheran apakah mereka harus menaiki kendaraan dan menikmati karnaval atau berdiam diri di luar garis batas sampai mode baru lenyap dalam kebingungan kebiasaan baru“.[1]
Postmodernisme sering dijadikan umpatan untuk menolak semua yang baru, atau sebagai tameng untuk melindungi segala kebobrokan dan kemalasan untuk mempertanggungjawabkan secara rasional apa yang dilakukan. Atau orang menyamakan postmodernisme dengan dekadensi moral dan merebaknya irasionalitas secara total dan karena itu menolaknya secara a priori, atau orang memandangnya sebagai pembenaran atas prinsip anything goes, yang membenarkan segala sesuatu dan karena itu membebaskan orang dari kewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu.
Untuk membantu pemahaman lebih lanjut, perlu dipegang pembedaan yang banyak dijumpai dalam literatur postmodernisme: postmodernisme gaya Disneyland dan postmodernisme yang serius. Postmodernisme Disneyland diartikan sebagai satu pandangan dan gaya hidup yang membenarkan segala sesuatu, satu relativisme total, yang menarik diri dari segala pergumulan ideal. Yang menjadi prinsip di sini adalah kesenangan. Seperti Disneyland yang menawarkan berbagai hiburan yang dapat dipilih dan diganti untuk menyenangkan hati, demikian pola pikir dan pandangan hidup ini tidak mempunyai pegangan lain selain kenikmatan.
Berbeda dari postmodernisme Disneyland adalah postmodernisme yang memiliki keseriusan, memperjuangkan nilai tertentu dengan menguras pikiran dan menyusun gagasan. Postmodernisme dalam pengertian ini bukanlah satu gaya hidup dan pola pikir yang hanya berorientasi pada kesenangan, yang tidak memperhatikan lagi persoalan kebenaran. Sebaliknya, postmodernisme adalah usaha yang serius untuk mencari kebenaran. Orang mencari dan menggagas sendiri kebenaran, bukan lagi sekadar membela kebenaran yang telah ditradisikan. Ya, postmodernisme boleh jadi adalah ungkapan yang sejatinya dari pencarian kebenaran. Kebenaran mesti dicari terus-menerus, karena tidak pernah ada identifikasi diri yang total dari kebenaran.
Hemat saya, inilah kondisi yang diprediksikan Nietzsche setelah Allah mati: ketika Allah sudah mati, kita tidak memiliki orientasi yang tegas dan otoritatif tentang kiri dan kanan, atas dan bawah, benar dan salah, baik dan buruk. Kita mesti menentukan itu sendiri. Kita tetap memiliki kebutuhan untuk itu, tetapi tugas itu tidak dapat didelegasikan kepada yang lain. Sebab itu, sebenarnya dalam era postmodernisme kebajikan yang utama bukan lagi ketaatan, melainkan kreativitas. “Postmodern dapat mempresentasikan sesuatu karena memiliki kreativitas, tidak terkungkung pada satu cara pandang, tidak terbelenggu oleh tradisi, menjadi lincah mengembangkan (cara) berpikir divergen, horizontal…”[2]
Secara sangat umum dapat dikatakan bahwa postmodernisme adalah pengalaman pluralitas yang radikal dan usaha rasional untuk menggapi pengalaman ini. Di dalam pluralitas ini tidak ada lagi grand narratives, yang ada hanyalah little narratives. Postmodernisme mengklaim menolak adanya satu otoritas yang tertinggi yang menjadi rujukan pembenaran tindakan dan pemikiran, yang dapat dipakai untuk memaksakan kriterianya untuk dijadikan normatif bagi semua orang. Orang tetap hendak mengejar apa yang menurutnya benar, tetapi kebenaran itu mesti dicarinya sendiri, dengan menggunakan berbagai masukan dan informasi yang ada di sekitarnya. Tidak ada kebenaran terberi! Yang ada hanyalah kebenaran yang terus menerus dicari, yang dikreasikan secara provisoris dipertanggungjawabkan sendiri, dan kemudian dicari lagi.
Dalam teori kebudayaan kita juga dapat menyebut postmodernisme sebagai dediferensiasi.[3] Meminjam trikotomi yang dipakai Habermas, lingkup estetika, moral-praktis dan teori didediferensiasi. Zaman pramodern disebut sebagai zaman tanpa diferensiasi. Semuanya ada dalam satu wadah, satu personifikasi. Kemudian, dalam zaman modern terjadi proses diferensiasi. Orang berbicara mengenai Ausdifferenzierung. Apa yang didiferensiasi secara ketat dalam masa modern, kini didediferensiasi. Perbedaan-perbedaan yang ketat dengan sekat-sekat yang tegas, mulai mengalir. Dengan ini, yang ada adalah pluralitas yang radikal. Pluralitas yang radikal tidak dialami sebagai pemilahan yang tegas, melainkan kehadiran yang serentak dari sekian banyak yang berbeda di dalam satu masyarakat, di dalam satu periode, di dalam satu kehidupan. Definisi Habermas tentang globalisasi dapat dipakai juga untuk mendefinisikan postmodernitas „Gleichzeitigkeit der Ungleichzeitigkeiten“: keserentakan dari berbagai ketidakserentakan. Maksudnya: yang berbeda dari kurun waktu, ada bersama pada waktu yang bersamaan; yang berasal dari tempat-tempat yang berlainan, hadir bersama di tempat yang sama. Apa yang sebelumnya selalu dikonotasikan dengan tempat atau kelompok tertentu, kini dapat ditemukan pada tempat dan kelompok lain.
Dalam rangka agama, kini orang berbicara lagi tentang munculnya kembali politeisme atau sinkretisme, menggantikan monoteisme yang tegas dan dogmatisme agama. Dalam dunia pekerjaan ada tendensi ke arah penataan ruang kerja seperti tempat tinggal, dan tempat tinggal menyerupai ruang kerja. Relasi majikan-pekerja hendak dibangun seperti relasi kekeluargaan. Batas antara ruang kerja dan ruang hidup menjadi mengalir. Dalam bidang olahraga unsur estetis menjadi hal yang semakin mendapat perhatian. Tim-tim yang hanya berpedoman pada efektivitas, tidak lagi mendapat dukungan yang luas seperti tim-tim yang juga memperhatikan keindahan permainan.  
Kita melihat tiga persoalan kompleks dalam kaitan dengan postmodernisme. Pertama berkenaan dengan filsafat dalam arti yang sempit, yakni sebagai usaha untuk mencari dan merumuskan yang benar. Bagaimana mesti memahami filsafat sebagai satu usaha tanpa akhir untuk mencari kebenaran di tengah pluralitas yang radikal? Apakah masih ada yang benar, yang dapat diperjuangkan sebagai kriterium kelurusan berpikir dan ketepatan bertindak, apabila hanya ada pluralitas dan tidak ada lagi yang satu? Pertanyaan ini sebenarnya akan mengantar kepada pengujian, apakah postmodernisme itu sendiri dapat secara konsisten mempertahankan klaim penolakannya di atas, dan bagaimana postmodernisme menentukan relasi antara berbagai tawaran kebenaran yang memiliki hak hidupnya masing-masing.
Pertanyaan mengenai epistemologi dan etika akan menjadi sangat aktual dan membutuhkan pendalaman. Pertanyaan ini akan menghadapkan kita pada satu pertanyaan yang sangat serius: apakah postmodernisme berarti runtuhnya semua nilai? Apakah postmodernisme sama dengan relativisme total dalam epistemologi dan moral? Ataukah masih ada sesuatu yang perlu diperjuangkan? Apakah postmodernisme mengandung sebuah cita-cita, atau menganjurkan terlepasnya segala cita-cita sebab cita-cita dialami sebagai sesuatu yang mengharuskan orang memperhamba diri sendiri dan memeras orang lain? Apakah postmodernisme adalah satu penyerahan total pada kenyataan, satu amor fati, sebuah deskripsi atas kenyataan tanpa sesuatu lagi yang normatif? Juga di sini kita mesti menguji, sejauh mana postmodernisme sendiri patuh pada klaim yang diteriakkan sejumlah wakilnya.
Di satu pihak memang ada pengalaman bahwa memiliki cita-cita, apalagi jika cita-cita itu dimiliki secara kolektif dan karena itu telah menjadi ideologi, dapat berakibat pada penghambaan manusia. Abad ideologi dialami dan ditafsir sebagai abad pembelengguan masyarakat dunia dalam penjara ketakutan dan saling mencurigai. Orang juga dapat mengalami adanya cita-cita pribadi sebagai sesuatu yang membelenggu. Orang bisa terkesan memaksa diri demi terwujudnya sebuah cita-cita dan karena itu kehilangan kegembiraan yang tampaknya menjadi ciri kehidupan yang diidealisasi banyak orang. Seperti Nietzsche, postmodernisme dapat dilihat sebagai satu pandangan hidup yang menolak moral tuan dan hamba. Yang harus diperjuangkan sebagai tujuan hidup adalah kegembiraan dalam kenikmatan.
Tetapi pada pihak lain tampaknya mustahil menjalankan sebuah kehidupan tanpa adanya apa yang disebut sebagai cita-cita. Tidak mungkin kita mempertahankan sebuah komunitas kalau tidak ada tujuan yang hendak dikejar dan diwujudkan bersama, baik tujuan yang dirumuskan secara jelas maupun yang terselubung. Namun pada pihak lain mesti juga diperhatikan keberatan yang berangkat dari pengalaman bahwa sangat sering terjadi, atas nama cita-cita bersama, sebagian orang ditindas. Bagaimana postmodernisme menjelaskan penolakannya atas cita-cita di hadapan kenyataan eksistensial di atas? Atau bagaimana postmodernisme menggagaskan konsep manusia dan masyarakat yang tidak saling menghancurkan? Apakah kreativitas dan kebebasan hanya mungkin kalau grand narratives dihilangkan?
Kedua, berkaitan dengan pengalaman eksistensial manusia. Pluralitas yang dialami adalah juga pluralitas dalam kehidupan seseorang, pluralitas peran yang mesti manusia mainkan dalam kehidupannya. Dengan hilangnya ideal yang otoritatif, tawaran yang dapat dan boleh diambil setiap orang pun menjadi semakin plural. Apabila dulu, dalam masa modern, orang hanya dapat menjadi pekerja di tempat tertentu apabila orang memiliki ijazah formal tertentu, berasal dari wilayah tertentu, memeluk agama tertentu dan menunjukkan moralitas tertentu, mempunyai ritme dan gaya hidup tertentu, maka sekarang, persoalan pekerjaan tidak lagi secara niscaya dihubungkan dengan berbagai hal lain.
Dalam waktu yang singkat dan mungkin pada tempat yang sama orang harus memainkan beberapa peran sekaligus. Yang menjadi masalah adalah bahwa aturan-aturan itu sering sama sekali tidak saling berhubungan, malah saling bertentangan. Dengan demikian orang memainkan peran-peran yang sebenarnya saling bertentangan kaidahnya dalam satu kehidupan yang sama. Hidup terasa menjadi semakin fragmentaris.
Fragmentasi adalah kenyataan yang mempertanyakan titik pusat dan kesatuan. Hidup yang fragmentaris adalah hidup yang kesatuannya dipertanyakan. Sebab itu, dalam era postmodern orang berbicara tentang kematian subjek. Di tengah kehidupan yang terpecah secara demikian, menjadi pertanyaan yang sangat serius: apakah masih ada identitas diri? Bagaimana kita mesti memahami identitas diri atau subjektivitas manusia? Apakah yang menghubungkan peran-peran itu, selain bahwa aku adalah subjeknya? Entahkah ada nilai yang lebih tinggi dan luhur, yang mengatasi peran-peran ini, yang menjadi benang merah yang merangkai batu-batu peran ini menjadi sebuah mosaik yang bentuknya aku sendiri sudah rancangkan?
Di dalam kondisi seperti di atas, selama orang masih mempunyai satu ideal, maka orang akan mengalami keterpecahan diri, mengalami schizophrenia. Dia merasa menjadi diri yang tidak utuh. Karena itu orang menjadi psikopat. Dia mempunyai satu ideal, tetapi tak mampu merangkai semua aktivitasnya di bawah ideal yang satu itu. Namun, tampaknya dewasa ini keterpecahan diri karena benturan kaidah dari berbagai peran yang mesti dimainkan seseorang tidak lagi mendatangkan permasalahan, sebab hal ini memang sudah dianggap wajar. Usaha untuk mendefinisikan diri, untuk mengarahkan diri kepada satu nilai besar yang diabdi dan yang terungkap dalam segala tindak dan kata, menjadi kian sulit. Orang tidak hanya mempunyai satu wajah, juga bukan hanya dua, tetapi banyak wajah. Terkadang, moralitas yang digunakan pun ganda, tanpa adanya rasa bersalah. Pluralitas bukan hanya masalah sosial, tetapi adalah juga persoalan eksistensial setiap orang.
Ketiga, berkaitan dengan istilah dan cakupannya. Sebenarnya kita dapat melihat tiga bidang cakupan postmodernisme: satu masa historis baru, satu budaya baru dan satu tipe teoritisasi yang baru. Kita akan menjumpai di dalam kuliah ini sejumlah pemikir yang sungguh-sungguh menggagaskan pemikirannya berdasarkan analisis atas budaya baru yang hidup di dalam masyarakat. Analisis ini melahirkan konsep filosofis tertentu.
Kesulitan lain dalam pembicaraan tentang postmodernisme adalah arti dasar dari istilah itu sendiri. Bagaimana mesti memahami makna post? Apakah post hanya sekadar berarti sesudah? Itu berarti post menunjuk pada rentang waktu. Dengan demikian, postmodernisme adalah masa setelah modernisme. Filsafat postmodernisme merangkum semua aliran filofosis setelah masa modern. Dalam pengertian ini postmodernisme dapat dikatakan menghadapi persoalan yang sama seperti modern atau modernisme apabila digunakan sebagai sebutan untuk mengungkapkan generasi atau rentang waktu tertentu. Anda mungkin masih ingat dari pelajaran sastra Indonesia, bahwa pada tahun enam puluhan Ajip Rosidi pernah menganjurkan nama “Angkatan Modern” bagi kelompok para sastrawan yang bergiat pada tahun enam puluhan. Tanggapan kritis terhadap nama ini menggunakan argumentasi, bahwa setiap angkatan adalah modern, dalam pengertian sesuai zamannya, dan bahwa penggunaan nama seperti ini akan menyulitkan penamaan angkatan sesudah angkatan ini.
Ada yang berpendapat bahwa makna awal post berkonotasi negasi: postmodernisme adalah negasi terhadap modernisme. Apa yang menjadi ideal dari modernisme, yakni rasionalitas dan bersama dengannya moralitas universal, ditolak. Karena postmodernisme dilihat sebagai antimodern, maka dia disamakan dengan antirasionalitas, antimoralitas. Kita akan lihat, apakah pandangan seperti benar atau sejauh mana ada kebenaran yang terkandung di dalam pandangan seperti ini.
Selain itu, ada yang melihat postmodernisme sebagai kritik atas modernisme. Itu berarti, tidak ada penolakan total atas apa yang telah dicapai oleh modernisme atau malah apa yang menjadi cita-cita modernisme. Postmodernisme adalah satu usaha radikal untuk mewujudkan impian modernitas yang sebenarnya telah diingkari oleh modernitas dalam sejarahnya.
Saya lebih melihat postmodernisme dalam pengertian terakhir ini. Jadi, postmodernisme tidak sekadar merujuk pada satu epoche dalam perkembangan peradaban manusia, melainkan pada sejumlah sikap, nilai, kepercayaan dan perasaan seputar apa artinya hidup pada abad ke-20 ini. Warna dasar dari postmodernisme adalah sikap kritis-skeptis (Dave Robinson, Nietzsche 35). Dari skeptisisme lahir kreaktivitas dan divergensi dalam berpikir. Tentu saja, konsep yang bersifat kritis ini hanya mungkin timbul setelah adanya obyek kritiknya. Sebab itu, postmodernisme memang muncul setelah modernisme. Tetapi bukan dalam arti menggantikan, melainkan mengkritik. Postmodernisme mengkritik strukturalisme, rasionalisme, objektivisme. Tetapi apakah postmodernisme adalah kritik melulu tanpa sebuah titik tiba? Titik tiba itu, dalam kerangka kritik terhadap modernisme, akan dibicarakan kemudian. Namun sekarang sudah dapat dikatakan bahwa titik tiba adalah satu pemahaman dan penggunaan rasionalitas yang tidak direduksi menjadi efisiensi dan pragmatisasi, melainkan berciri holistis, yang memberi juga ruang kepada yang irasional. Selain itu, yang menjadi titik tuju adalah kebebasan berpikir[4]. 



[1] George Ritzer, Teori Sosial Postmodern (Yogyakarta: Kreasi Wacana,??), hlm. 7.
[2] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu. Positivisme, PostPostivisme dan PostModernisme, edisi II (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001), hlm. 204.
[3] Scott Lash, Sosiologi Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
[4] Ibid., hlm. 216-217.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar