Wacana intelektual dan populer di
dunia pada umumnya masih kuat diwarnai oleh postmodernisme. Kalau pada tahun
1980-an dunia diskusi ditandai oleh perdebatan intelektual mengenai
peristilahan, maka sekarang yang banyak dijumpai adalah berbagai judul buku
yang menyertakan kata postmodernisme. Sepertinya fase perdebatan istilah sudah
berlalu. Postmodernisme sudah diterima sebagai sebuah istilah, kendati masih
harus selalu dipertegas, apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengannya. Hal ini
penting, karena pada awalnya orang ramai-ramai berbicara tentang yang modern
dan yang posmo. Posmo dianggap sebagai nama lain dari „in“. Semua yang „in“,
yang sedang menjadi trend umum, disebut sebagai posmo. Penggunaan istilah
seperti ini lebih banyak menimbulkan soal daripada membantu. Memang, ada ketidakjelasan
dalam penggunaan istilah postmodernisme itu sendiri, bukan hanya di Indonesia,
tetapi dalam perdebatan umumnya di antara para terpelajar dunia.
Sebagaimana banyak disinyalir,
ternyata ada banyak sekali klaim postmodernisme yang simpang siur. Ada yang
melukiskan kesimpangsiuran itu sebagai berikut: „Situasi postmodern telah tiba
dan membingungkan para intelektual, seniman dan penggagas-penggagas kebudayaan.
Mereka semua terheran apakah mereka harus menaiki kendaraan dan menikmati
karnaval atau berdiam diri di luar garis batas sampai mode baru lenyap dalam
kebingungan kebiasaan baru“.[1]
Postmodernisme sering dijadikan
umpatan untuk menolak semua yang baru, atau sebagai tameng untuk melindungi
segala kebobrokan dan kemalasan untuk mempertanggungjawabkan secara rasional
apa yang dilakukan. Atau orang menyamakan postmodernisme dengan dekadensi moral
dan merebaknya irasionalitas secara total dan karena itu menolaknya secara a priori,
atau orang memandangnya sebagai pembenaran atas prinsip anything goes, yang membenarkan segala sesuatu dan karena itu
membebaskan orang dari kewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu.
Untuk membantu pemahaman lebih
lanjut, perlu dipegang pembedaan yang banyak dijumpai dalam literatur
postmodernisme: postmodernisme gaya
Disneyland dan postmodernisme yang
serius. Postmodernisme Disneyland diartikan sebagai satu pandangan dan gaya
hidup yang membenarkan segala sesuatu, satu relativisme total, yang menarik
diri dari segala pergumulan ideal. Yang menjadi prinsip di sini adalah
kesenangan. Seperti Disneyland yang menawarkan berbagai hiburan yang dapat
dipilih dan diganti untuk menyenangkan hati, demikian pola pikir dan pandangan
hidup ini tidak mempunyai pegangan lain selain kenikmatan.
Berbeda dari postmodernisme
Disneyland adalah postmodernisme yang memiliki keseriusan, memperjuangkan nilai
tertentu dengan menguras pikiran dan menyusun gagasan. Postmodernisme dalam
pengertian ini bukanlah satu gaya hidup dan pola pikir yang hanya berorientasi
pada kesenangan, yang tidak memperhatikan lagi persoalan kebenaran. Sebaliknya,
postmodernisme adalah usaha yang serius untuk mencari kebenaran. Orang mencari
dan menggagas sendiri kebenaran, bukan lagi sekadar membela kebenaran yang
telah ditradisikan. Ya, postmodernisme boleh jadi adalah ungkapan yang
sejatinya dari pencarian kebenaran. Kebenaran mesti dicari terus-menerus,
karena tidak pernah ada identifikasi diri yang total dari kebenaran.
Hemat saya, inilah kondisi yang
diprediksikan Nietzsche setelah Allah mati: ketika Allah sudah mati, kita tidak
memiliki orientasi yang tegas dan otoritatif tentang kiri dan kanan, atas dan
bawah, benar dan salah, baik dan buruk. Kita mesti menentukan itu sendiri. Kita
tetap memiliki kebutuhan untuk itu, tetapi tugas itu tidak dapat didelegasikan
kepada yang lain. Sebab itu, sebenarnya dalam era postmodernisme kebajikan yang
utama bukan lagi ketaatan, melainkan
kreativitas. “Postmodern dapat mempresentasikan sesuatu karena memiliki
kreativitas, tidak terkungkung pada satu cara pandang, tidak terbelenggu oleh
tradisi, menjadi lincah mengembangkan (cara) berpikir divergen, horizontal…”[2]
Secara sangat umum dapat dikatakan bahwa
postmodernisme adalah pengalaman pluralitas
yang radikal dan usaha rasional untuk menggapi pengalaman ini. Di dalam
pluralitas ini tidak ada lagi grand narratives,
yang ada hanyalah little narratives. Postmodernisme
mengklaim menolak adanya satu otoritas yang tertinggi yang menjadi rujukan
pembenaran tindakan dan pemikiran, yang dapat dipakai untuk memaksakan
kriterianya untuk dijadikan normatif bagi semua orang. Orang tetap hendak
mengejar apa yang menurutnya benar, tetapi kebenaran itu mesti dicarinya
sendiri, dengan menggunakan berbagai masukan dan informasi yang ada di
sekitarnya. Tidak ada kebenaran terberi! Yang ada hanyalah kebenaran yang terus
menerus dicari, yang dikreasikan secara provisoris dipertanggungjawabkan
sendiri, dan kemudian dicari lagi.
Dalam teori kebudayaan kita juga dapat menyebut
postmodernisme sebagai dediferensiasi.[3]
Meminjam trikotomi yang dipakai Habermas, lingkup estetika, moral-praktis dan
teori didediferensiasi. Zaman pramodern disebut sebagai zaman tanpa
diferensiasi. Semuanya ada dalam satu wadah, satu personifikasi. Kemudian,
dalam zaman modern terjadi proses diferensiasi. Orang berbicara mengenai Ausdifferenzierung. Apa yang
didiferensiasi secara ketat dalam masa modern, kini didediferensiasi.
Perbedaan-perbedaan yang ketat dengan sekat-sekat yang tegas, mulai mengalir. Dengan
ini, yang ada adalah pluralitas yang radikal. Pluralitas yang radikal tidak
dialami sebagai pemilahan yang tegas, melainkan kehadiran yang serentak dari
sekian banyak yang berbeda di dalam satu masyarakat, di dalam satu periode, di
dalam satu kehidupan. Definisi Habermas tentang globalisasi dapat dipakai juga
untuk mendefinisikan postmodernitas „Gleichzeitigkeit
der Ungleichzeitigkeiten“: keserentakan dari berbagai ketidakserentakan.
Maksudnya: yang berbeda dari kurun waktu, ada bersama pada waktu yang
bersamaan; yang berasal dari tempat-tempat yang berlainan, hadir bersama di
tempat yang sama. Apa yang sebelumnya selalu dikonotasikan dengan tempat atau
kelompok tertentu, kini dapat ditemukan pada tempat dan kelompok lain.
Dalam rangka agama, kini orang berbicara lagi
tentang munculnya kembali politeisme atau
sinkretisme, menggantikan monoteisme
yang tegas dan dogmatisme agama. Dalam dunia pekerjaan ada tendensi ke arah
penataan ruang kerja seperti tempat tinggal, dan tempat tinggal menyerupai ruang
kerja. Relasi majikan-pekerja hendak dibangun seperti relasi kekeluargaan.
Batas antara ruang kerja dan ruang hidup menjadi mengalir. Dalam bidang
olahraga unsur estetis menjadi hal yang semakin mendapat perhatian. Tim-tim
yang hanya berpedoman pada efektivitas, tidak lagi mendapat dukungan yang luas
seperti tim-tim yang juga memperhatikan keindahan permainan.
Kita melihat tiga persoalan kompleks dalam kaitan
dengan postmodernisme. Pertama berkenaan
dengan filsafat dalam arti yang sempit, yakni sebagai usaha untuk mencari dan
merumuskan yang benar. Bagaimana mesti memahami filsafat sebagai satu usaha
tanpa akhir untuk mencari kebenaran di tengah pluralitas yang radikal? Apakah
masih ada yang benar, yang dapat diperjuangkan sebagai kriterium kelurusan berpikir
dan ketepatan bertindak, apabila hanya ada pluralitas dan tidak ada lagi yang
satu? Pertanyaan ini sebenarnya akan mengantar kepada pengujian, apakah
postmodernisme itu sendiri dapat secara konsisten mempertahankan klaim
penolakannya di atas, dan bagaimana postmodernisme menentukan relasi antara
berbagai tawaran kebenaran yang memiliki hak hidupnya masing-masing.
Pertanyaan mengenai epistemologi dan etika akan
menjadi sangat aktual dan membutuhkan pendalaman. Pertanyaan ini akan
menghadapkan kita pada satu pertanyaan yang sangat serius: apakah
postmodernisme berarti runtuhnya semua nilai? Apakah postmodernisme sama dengan
relativisme total dalam epistemologi dan moral? Ataukah masih ada sesuatu yang
perlu diperjuangkan? Apakah postmodernisme mengandung sebuah cita-cita, atau
menganjurkan terlepasnya segala cita-cita sebab cita-cita dialami sebagai
sesuatu yang mengharuskan orang memperhamba diri sendiri dan memeras orang
lain? Apakah postmodernisme adalah satu penyerahan total pada kenyataan, satu amor fati, sebuah deskripsi atas
kenyataan tanpa sesuatu lagi yang normatif? Juga di sini kita mesti menguji,
sejauh mana postmodernisme sendiri patuh pada klaim yang diteriakkan sejumlah
wakilnya.
Di satu pihak memang ada pengalaman bahwa memiliki
cita-cita, apalagi jika cita-cita itu dimiliki secara kolektif dan karena itu
telah menjadi ideologi, dapat berakibat pada penghambaan manusia. Abad ideologi
dialami dan ditafsir sebagai abad pembelengguan masyarakat dunia dalam penjara
ketakutan dan saling mencurigai. Orang juga dapat mengalami adanya cita-cita
pribadi sebagai sesuatu yang membelenggu. Orang bisa terkesan memaksa diri demi
terwujudnya sebuah cita-cita dan karena itu kehilangan kegembiraan yang
tampaknya menjadi ciri kehidupan yang diidealisasi banyak orang. Seperti
Nietzsche, postmodernisme dapat dilihat sebagai satu pandangan hidup yang
menolak moral tuan dan hamba. Yang harus diperjuangkan sebagai tujuan hidup
adalah kegembiraan dalam kenikmatan.
Tetapi pada pihak lain tampaknya mustahil menjalankan
sebuah kehidupan tanpa adanya apa yang disebut sebagai cita-cita. Tidak mungkin
kita mempertahankan sebuah komunitas kalau tidak ada tujuan yang hendak dikejar
dan diwujudkan bersama, baik tujuan yang dirumuskan secara jelas maupun yang
terselubung. Namun pada pihak lain mesti juga diperhatikan keberatan yang
berangkat dari pengalaman bahwa sangat sering terjadi, atas nama cita-cita
bersama, sebagian orang ditindas. Bagaimana postmodernisme menjelaskan
penolakannya atas cita-cita di hadapan kenyataan eksistensial di atas? Atau
bagaimana postmodernisme menggagaskan konsep manusia dan masyarakat yang tidak
saling menghancurkan? Apakah kreativitas dan kebebasan hanya mungkin kalau grand narratives dihilangkan?
Kedua, berkaitan dengan pengalaman eksistensial manusia. Pluralitas yang dialami adalah
juga pluralitas dalam kehidupan seseorang, pluralitas peran yang mesti manusia mainkan
dalam kehidupannya. Dengan hilangnya ideal yang otoritatif, tawaran yang dapat
dan boleh diambil setiap orang pun menjadi semakin plural. Apabila dulu, dalam
masa modern, orang hanya dapat menjadi pekerja di tempat tertentu apabila orang
memiliki ijazah formal tertentu, berasal dari wilayah tertentu, memeluk agama
tertentu dan menunjukkan moralitas tertentu, mempunyai ritme dan gaya hidup
tertentu, maka sekarang, persoalan pekerjaan tidak lagi secara niscaya
dihubungkan dengan berbagai hal lain.
Dalam waktu yang singkat dan mungkin pada tempat
yang sama orang harus memainkan beberapa peran sekaligus. Yang menjadi masalah
adalah bahwa aturan-aturan itu sering sama sekali tidak saling berhubungan,
malah saling bertentangan. Dengan demikian orang memainkan peran-peran yang
sebenarnya saling bertentangan kaidahnya dalam satu kehidupan yang sama. Hidup
terasa menjadi semakin fragmentaris.
Fragmentasi adalah kenyataan yang mempertanyakan
titik pusat dan kesatuan. Hidup yang fragmentaris adalah hidup yang kesatuannya
dipertanyakan. Sebab itu, dalam era postmodern orang berbicara tentang kematian
subjek. Di tengah kehidupan yang terpecah secara demikian, menjadi pertanyaan
yang sangat serius: apakah masih ada identitas diri? Bagaimana kita mesti
memahami identitas diri atau subjektivitas manusia? Apakah yang menghubungkan
peran-peran itu, selain bahwa aku adalah subjeknya? Entahkah ada nilai yang
lebih tinggi dan luhur, yang mengatasi peran-peran ini, yang menjadi benang
merah yang merangkai batu-batu peran ini menjadi sebuah mosaik yang bentuknya
aku sendiri sudah rancangkan?
Di dalam kondisi seperti di atas, selama orang
masih mempunyai satu ideal, maka orang akan mengalami keterpecahan diri,
mengalami schizophrenia. Dia merasa menjadi
diri yang tidak utuh. Karena itu orang menjadi psikopat. Dia mempunyai satu
ideal, tetapi tak mampu merangkai semua aktivitasnya di bawah ideal yang satu itu.
Namun, tampaknya dewasa ini keterpecahan diri karena benturan kaidah dari
berbagai peran yang mesti dimainkan seseorang tidak lagi mendatangkan
permasalahan, sebab hal ini memang sudah dianggap wajar. Usaha untuk
mendefinisikan diri, untuk mengarahkan diri kepada satu nilai besar yang diabdi
dan yang terungkap dalam segala tindak dan kata, menjadi kian sulit. Orang
tidak hanya mempunyai satu wajah, juga bukan hanya dua, tetapi banyak wajah. Terkadang,
moralitas yang digunakan pun ganda, tanpa adanya rasa bersalah. Pluralitas
bukan hanya masalah sosial, tetapi adalah juga persoalan eksistensial setiap
orang.
Ketiga, berkaitan dengan istilah
dan cakupannya. Sebenarnya kita dapat melihat tiga bidang cakupan
postmodernisme: satu masa historis baru,
satu budaya baru dan satu tipe
teoritisasi yang baru. Kita akan menjumpai di dalam kuliah ini sejumlah
pemikir yang sungguh-sungguh menggagaskan pemikirannya berdasarkan analisis
atas budaya baru yang hidup di dalam masyarakat. Analisis ini melahirkan konsep
filosofis tertentu.
Kesulitan lain dalam pembicaraan tentang
postmodernisme adalah arti dasar dari
istilah itu sendiri. Bagaimana mesti
memahami makna post? Apakah post
hanya sekadar berarti sesudah? Itu berarti post menunjuk pada rentang waktu. Dengan
demikian, postmodernisme adalah masa setelah modernisme. Filsafat
postmodernisme merangkum semua aliran filofosis setelah masa modern. Dalam
pengertian ini postmodernisme dapat dikatakan menghadapi persoalan yang sama
seperti modern atau modernisme apabila digunakan sebagai sebutan untuk
mengungkapkan generasi atau rentang waktu tertentu. Anda mungkin masih ingat
dari pelajaran sastra Indonesia, bahwa pada tahun enam puluhan Ajip Rosidi
pernah menganjurkan nama “Angkatan Modern” bagi kelompok para sastrawan yang bergiat
pada tahun enam puluhan. Tanggapan kritis terhadap nama ini menggunakan
argumentasi, bahwa setiap angkatan adalah modern, dalam pengertian sesuai
zamannya, dan bahwa penggunaan nama seperti ini akan menyulitkan penamaan
angkatan sesudah angkatan ini.
Ada yang berpendapat bahwa makna awal post
berkonotasi negasi: postmodernisme adalah negasi terhadap
modernisme. Apa yang menjadi ideal dari modernisme, yakni rasionalitas dan
bersama dengannya moralitas universal, ditolak. Karena postmodernisme dilihat
sebagai antimodern, maka dia disamakan dengan antirasionalitas, antimoralitas.
Kita akan lihat, apakah pandangan seperti benar atau sejauh mana ada kebenaran
yang terkandung di dalam pandangan seperti ini.
Selain itu, ada yang melihat postmodernisme sebagai
kritik atas modernisme. Itu berarti,
tidak ada penolakan total atas apa yang telah dicapai oleh modernisme atau
malah apa yang menjadi cita-cita modernisme. Postmodernisme adalah satu usaha
radikal untuk mewujudkan impian modernitas yang sebenarnya telah diingkari oleh
modernitas dalam sejarahnya.
Saya lebih melihat postmodernisme dalam pengertian
terakhir ini. Jadi, postmodernisme tidak sekadar merujuk pada satu epoche dalam
perkembangan peradaban manusia, melainkan pada sejumlah sikap, nilai, kepercayaan
dan perasaan seputar apa artinya hidup pada abad ke-20 ini. Warna dasar dari
postmodernisme adalah sikap kritis-skeptis (Dave Robinson, Nietzsche 35). Dari
skeptisisme lahir kreaktivitas dan divergensi dalam berpikir. Tentu saja,
konsep yang bersifat kritis ini hanya mungkin timbul setelah adanya obyek
kritiknya. Sebab itu, postmodernisme memang muncul setelah modernisme. Tetapi
bukan dalam arti menggantikan, melainkan mengkritik. Postmodernisme mengkritik
strukturalisme, rasionalisme, objektivisme. Tetapi apakah postmodernisme adalah
kritik melulu tanpa sebuah titik tiba? Titik tiba itu, dalam kerangka kritik
terhadap modernisme, akan dibicarakan kemudian. Namun sekarang sudah dapat
dikatakan bahwa titik tiba adalah satu pemahaman dan penggunaan rasionalitas
yang tidak direduksi menjadi efisiensi dan pragmatisasi, melainkan berciri holistis,
yang memberi juga ruang kepada yang irasional. Selain itu, yang menjadi titik
tuju adalah kebebasan berpikir[4].
[1] George Ritzer, Teori Sosial Postmodern (Yogyakarta: Kreasi Wacana,??), hlm. 7.
[2] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu. Positivisme, PostPostivisme dan PostModernisme,
edisi II (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001), hlm. 204.
[3] Scott Lash, Sosiologi Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
[4] Ibid.,
hlm. 216-217.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar