1.
Catatan
Awal
Fakta keanekaragaman yang nyata dalam kehidupan sosial
dan politik manusia dewasa ini, sekurang-kurangnya menyadarkan kita akan salah satu
hal penting dalam kehidupan politik yakni perlunya suatu pemufakatan (consensus) yang mampu menciptakan keadilan
dan kesejahteraan yang pertimbangannya mencakup, entahkah itu dimensi individu,
kelompok, maupun negara. Pemufakatan yang demikian memanglah tidak mudah untuk
dicapai. Mengapa? Kalaupun mendesak diperlukan suatu jawaban, sangatlah
tergesa-gesa jika kita harus menitikberatkannya hanya pada satu sorotan saja
karena pada dasarnya yang beranekaragam, yang kita sebut dengan yang plural itu
adalah sesuatu yang rumit. Akan tetapi, yang rumit itu, tidaklah selalu berarti
tidak mungkin untuk dimufakatkan. Penyelidikan intelektual kita, baik yang berdimensi
sosial maupun politis tidaklah harus selalu berujung pada kehampaan dan
kekosongan. Kendati pencarian filosofis-politis kita tidak akan pernah selesai,
pada satu titik, kita mesti sampai pada suatu pemufakatan yang diimplikasikan
dalam hidup sosial-politis kita. Berkaitan dengan persoalan pemufakatan
tersebut, John Rawls-salah seorang filsuf kenamaan Amerika di akhir abad ke-20-dalam
ziarah intelektualnya, menggagaskan suatu prinsip keadilan dan kesejahteraan
yang ia sebut dengan “Pemufakatan yang Tumpang Tindih” (Overlapping Consensus). Bagaimanakah bentuk pemikiran tentang
“Pemufakatan yang Tumpang Tindih tersebut”? Tulisan Sederhana ini, hendak
mengajak kita untuk masuk dalam “permainan yang serius” dengan bangunan
pemikiran John Rawls tentang “Pemufakatan yang Timpang Tindih.
2.
Pembahasan
Pemikiran Pemufakatan yang Tumpang Tindih Rawls
Usaha John Rawls dalam membangun pemikiran tentang “Pemufakatan
yang Tumpang Tindih” ini nampaknya analog dengan penenun yang sementara
mengerjakan karyanya secara bertahap, yang terbuka terhadap kritik, yang tak
segan membongkar, mengurangi, menambahkan bahkan mengubah pola tenunannya
sejauh perlu. Oleh karena itu, pendalaman pemikiran tentang “Pemufakatan yang
Tumpang Tindih” dari Rawls ini akan dilakukan dengan suatu selidik kembali terhadap
benang-benang ide yang telah ia rajut, sejumlah kritik, dan akhirnya tanggapan
sang penenun ide yakni Rawls.
2.1.
Gagasan
Tentang Pemufakatan yang Tumpang Tindih
John Rawls
dalam artikelnya yang berjudul “The Idea
of an Overlapping Consensus” menyadari bahwa kondisi historis dan sosial
dari sebuah masyarakat menuntut kita untuk memandang keadilan dalam cara tertentu. Kesadaran terhadap
tuntutan tersebut menunjukan betapa penting dan berpengaruhnya kondisi historis
dan sosial masyarakat terhadap paham politik tentang keadilan. Apa dan
bagaimanakah pengaruh tersebut? Jawaban Rawls bertolak pada tiga ciri khas
paham politik tentang keadilan.
Pertama, gagasan tersebut dibangun pertama-tama untuk menerapkan
struktur dasar demokrasi Konstitusional modern. Tujuan suatu paham politik
secara dasariah dan utama ialah supaya ia dapat diimplikasikan dalam sturktur
dasar masyarakat. Ciri ini menuntut suatu pertimbangan akan apa yang nyata,
yang praktis, yang terjadi dalam ruang historis dan sosial tertentu. Paham
politik hanya memiliki peran atau benar-benar merupakan suatu paham politik
hanya sejauh ia dapat tereja-wan-tahkan dalam ruang nyata struktur dasar
masyarakat. struktur dasar masyarakat tidak lain merupakan sebuah lahan dasar
bagi paham politik tentang keadilan. Sebagaimana padi dan gandum menyata,
bertumbuh dan berkembang dalam lahan pertanian, demikian juga struktur dasar
masyarakat merupakan tempat di mana benih keadilan politis mengekspresikan dan
mengembangkan dirinya sebisa mungkin, sejauh perlu.
Kedua, paham politik tidak boleh dipahami sebagai suatu paham
moral yang umum serentak menyeluruh. Ciri kedua ini memperkuat dan mempertegas kembali
ciri pertama. Prinsip keadilan hendaknya tidak diterapkan secara
deduktif-opresif melainkan secara induktif-komunikatif. Sederhananya, yang adil
itu tidak menjadi adil karena hanya ditopang oleh susunan proposisi dan kalimat
yang dipaksakan secara umum untuk semua konteks dan situasi melainkan juga oleh
pertimbangan bijaksana akan prinsip-prinsip keadilan dasar yang berkembang
dalam konteks historis dan sosial masyarakat tersebut. Rawls juga dalam
kaitannya dengan hal tersebut, tidak bersifat teleologis seperti kaum
utilitarian, perfeksionis dan komunitarian, melainkan deontologis. Dalam
teori Rawls yang deontologis tugas negara liberal adalah untuk menjamin
kebebasan sipil yang paling mendasar bagi setiap individu. Pelanggaran
kebebasan individual tidak pernah bisa diterima, juga demi kesejahteraan yang
lebih besar bagi sebagian besar warga yang lain.
Ketiga, paham politik tidak boleh dirumuskan dalam bingkai sebuah
doktrin religius, filosofis atau moral yang umum dan komprehensif, tetapi
sebaliknya dalam bingkai gagasan Intuitif fundamental tertentu sebagai yang
laten di dalam budaya politik publik dari sebuah masyarakat demokratis. Di
sini, pertama-tama Rawls mengandaikan pengenalan masyarakat secara intuitif
tentang paham demokrasi. Pengandaian ini menyiratkan adanya cita-cita paling
dasariah yang dianut bersama yang dapat diusung dalam menentukan
prinsip-prinsip tentang yang adil yang dapat memuaskan pelbagai pihak.
Dengan
tiga ciri khas tersebut, Rawls coba menggiring masyarakat pada suatu pemahaman
mendasar tentang paham politik tentang yang adil. Bertolak dari ketiga ciri
khas tersebut, dapat kita katakan bahwa politik yang adil itu mestilah sesuatu
yang dapat dieja-wan-tah-kan dalam struktur dasar sosial, yang tidak diterapkan
secara deduktif-opresif melulu, serentak yang mempertimbangkan dimensi
pemufakatan dari kenyataan keanekaragaman. Melalui tiga ciri khas paham politik
tentang yang adil tersebut, Rawls menawarkan suatu prosedur yang dapat
diterapkan di tengah suatu realitas publik yang beranekaragam yakni pemufakatan
yang tumpang tindih.
Melalui
bukunya “Political Liberalism” (1993), Rawls mencoba untuk menjernihkan
dan memperbaiki kelemahan teori yang dibahasnya dalam “Theory of Justice”. Beragam perluasan masalah (problem of
extension) yang muncul di kemudian hari, berusaha dijawab olehnya dalam
“PL” yang tidak hanya sebatas bagaimana cara membentuk keadilan sosial, namun
juga bagaimana politik yang adil, bebas, dan teratur dapat terus dipelihara
dalam konteks kekinian serta situasi sosial yang ditandai dengan adanya
keanekaragaman agama, filsafat, dan doktrin moral. Dalam bukunya tersebut,
Rawls tidak saja memperkenalkan gagasan yang disebutnya sebagai “pemufakatan
yang tumpang tindih” (overlapping
consensus) guna membentuk kesepakatan terhadap keadilan dan kesamaan
diantara warga negara yang memiliki pandangan keyakinan agama dan filosofis
yang berbeda-beda, namun juga menguraikan ide tentang “nalar publik” (public
reason) sebagai penalaran bersama dari seluruh warga negara.
Berbeda
dengan konsepsi dan paham kebebasan berpolitik yang ditawarkan oleh John Locke
atau John Stuart Mill yang lebih mengedepankan filsafat kebebasan budaya dan
metafisik, melalui “Political Liberalism”
John Rawls mencoba untuk memperkuat argumentasi dari adanya kemungkinan
kesepakatan yang lebih bebas tanpa memperhatikan kedalaman dari nilai-nilai
keyakinan agama dan metafisik yang disetujui oleh para pihak sepanjang
kesepakatan tersebut terbuka untuk dibicarakan secara damai, logis, adil, dan
bijaksana, serta melepaskan adanya klaim-klaim atas kebenaran yang universal (universal
truth).
Dengan demikian,
John Rawls telah menyempurnakan prinsip-prinsip keadilannya menjadi sebagai
berikut: Pertama, setiap orang memiliki klaim yang sama untuk memenuhi hak-hak
dan kemerdekaan-kemerdekaan dasarnya yang kompatibel dan sama jenisnya untuk
semua orang, serta kemerdekaan berpolitik yang sama dijamin dengan nilai-nilai
yang adil; Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi dapat dipenuhi atas dasar
dua kondisi, yaitu: (a) melekat untuk jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang
dibuka bagi semua orang di bawah kondisi adanya persamaan kesempatan yang adil;
dan (b) diperuntukan sebagai kebermanfaatan sebesar-besarnya bagi
anggota-anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan.
Perbedaan prinsip-prinsip yang dikemukan dalam “TJ” (Theory of Justice) dan “PL” (Political Liberalism) tersebut terletak pada konsep yang awalnya disebut sebagai “hak yang sama” (equal rights) menjadi “klaim yang sama” (equal claim), serta adanya modifikasi terhadap frasa “sistem kemerdekaan-kemerdekaan dasar” (system of basic liberties) menjadi “skema pemenuhan yang memadai terhadap hak-hak dan kemerdekaan-kemerdekan dasar” (a full adequate scheme of equal basic rights and liberties).
2.2. Keberatan Terhadap Pemikiran Pemufakatan
yang Tumpang Tindih dan Tanggapan Rawls
Gagasan
tentang “pemufakatan yang tumpang tindih dari Rawls ini” nampaknya mendapat
tanggapan yang beranekaragam pula. Tentunya kita tidak akan membahas semua
tanggapan atas pemikiran “pemufakatan tumpang tindih Rawls”. Kita hanya akan
menyoroti sejumlah keberatan yang ditujukan kepada Rawls berkenaan dengan
pemikirannya tersebut. Ralws memberikan pendapatnnya pertama-tama untuk
keberatan yang paling gamblang, barulah ia masuk secara lebih khusus ke dalam
empat kritikan dari sejumlah sudut pandang tertentu.
Keberatan
paling gamblang yang terlontar dari para pengritiknya adalah bahwa pemufakatan
yang tumpang tindih hanyalah sekedar modus
vivendi. Rawls menjawabinya dengan tiga contoh pandangan politik, yakni
politik yang menegaskan dirinya dalam doktrin religious, politik yang
menegaskan dirinya di dalam doktrin moral komprehensif dan politik yang
menegaskan dirinya dalam politik itu sendiri (melalui pemufakatan). Bagi Rawls
yang ketiga inilah yang paling stabil ketimbang dua yang lainnya karena ia
berkembang secara kontekstual.
Setelah
menjawabi keberatan yang paling gamblang tersebut, Rawls mencoba menyoroti
sejumlah keberatan dan beberapa sudut pandang yang berbeda. Keberatan pertama
datang dari kaum komunitarian. Pandangan Ralws dianggap mengabaikan harapan
paguyuban politik. Rawls menanggapi keberatan ini dengan menegaskan kembali
bahwa pada prinsipnya, secara dasariah, pemufakatan yang tumpang tindih
bukanlah untuk mengabaikan harapan dari kolektivitas politik tetapi
mempertemukannya dalam kerangka yang paling mungkin, adil dan wajar.
Keberatan
kedua-mungkin dari para pengamat nilai-diajukan terhadap pemikiran Rawls dengan
argumen bahwa pemikirannya bisa saja berujung pada indiferensi atau skeptisisme
paham politik tentang keadilan yang benar dan salah. Mengenai kritik ini Rawls
menegaskan kembali bahwa doktrin-doktrin yang kita anggap paling komprehensif
pun-kendati kita tegaskan kembali kemudian-tidak dapat diterapkan pada semua
kasus struktur dasar. Kita mungkin akan menggunakan doktrin religious dan moral
untuk kasus tertentu. Akan tetapi penerapan itu tidaklah boleh dipandang
melebihi apa yang disebut dengan pemufakatan.
Keberatan
ketiga datang berargumen bahwa paham politik praktis mestilah bercorak umum dan
komprehensif agar mampu memutuskan keadilan secara pasti. Menurut Rawls yang
adil itu tidaklah melulu sesuatu yang mesti dipaksakan secara deduksi dengan
doktrin-doktrin yang komprehensif. Keadilan merupakan titik temu antara
apa yang baik dan benar. Pemufakatan tumpang tindih berusaha
mempertemukan keberagaman dalam suatu nilai dasariah yang dapat dianut dan
diterima secara bersama.
Keberatan
terakhir yang turut dipertimbangkan Rawls adalah argumen bahwa pemufakatan
tumpang tindih itu bercorak utopis karena tidak adanya kekuatan politik, sosial
atau psikologi yang memadai untuk memberinya kestabilan. Menjawabi keberatan
ini, Rawls menegaskan kembali bahwa pemufakatan merupakan suatu sistem ekulibrium
reflektif yang didasarkan pada ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom),
dan persamaan (equality) guna
mengatur struktur dasar masyarakat (basic
structure of society). Dengan demikian pemufakatan menuntut pertimbangan
yang masuk akal yang dapat diterima dalam keanekaragaman dan bukan asal-asalan
terhadap setiap putusan tentang keadilan. Dengan demikian juga, Rawls
mengafirmasi nalar publik sebagai suatu pijakan keadilan.
3. Catatan Akhir
Ketika
berbicara tentang konsep keadilan, tentunya para pakar ilmu filsafat, hukum,
ekonomi, dan politik di seluruh belahan dunia, tidak akan melewati pelbagai teori
yang dikemukakan oleh John Rawls. Kesepadanan antara prinsip-prinsip keadilan
Rawls dengan karakteristik negara-negara berkembang, khususnya yang memiliki
latar belakang masyarakat yang beranekaragam, menjadikan pengembangan prinsip
tersebut merebak secara cepat dan luas bak cendawan di musim hujan. Namun
demikian, adanya kelemahan-kelemahan konsepsi Rawls sebagaimana diutarakan oleh
kelompok arus utama pemikir lainnya, selain harus dijadikan catatan penting
dalam pengimplementasiannya, juga harus didudukan secara proporsional dalam
perdebatan akademisnya, sehingga pengembangan diskursus tentang keadilan tidak
akan pernah pudar semata-mata untuk menyempurnakan konsepsi “keadilan sosial”
yang seadil-adilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar