Minggu, 05 Mei 2013

Liberalisme Politik John Rawls




1.      Catatan Awal
Fakta keanekaragaman yang nyata dalam kehidupan sosial dan politik manusia dewasa ini, sekurang-kurangnya menyadarkan kita akan salah satu hal penting dalam kehidupan politik yakni perlunya suatu pemufakatan (consensus) yang mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan yang pertimbangannya mencakup, entahkah itu dimensi individu, kelompok, maupun negara. Pemufakatan yang demikian memanglah tidak mudah untuk dicapai. Mengapa? Kalaupun mendesak diperlukan suatu jawaban, sangatlah tergesa-gesa jika kita harus menitikberatkannya hanya pada satu sorotan saja karena pada dasarnya yang beranekaragam, yang kita sebut dengan yang plural itu adalah sesuatu yang rumit. Akan tetapi, yang rumit itu, tidaklah selalu berarti tidak mungkin untuk dimufakatkan. Penyelidikan intelektual kita, baik yang berdimensi sosial maupun politis tidaklah harus selalu berujung pada kehampaan dan kekosongan. Kendati pencarian filosofis-politis kita tidak akan pernah selesai, pada satu titik, kita mesti sampai pada suatu pemufakatan yang diimplikasikan dalam hidup sosial-politis kita. Berkaitan dengan persoalan pemufakatan tersebut, John Rawls-salah seorang filsuf kenamaan Amerika di akhir abad ke-20-dalam ziarah intelektualnya, menggagaskan suatu prinsip keadilan dan kesejahteraan yang ia sebut dengan “Pemufakatan yang Tumpang Tindih” (Overlapping Consensus). Bagaimanakah bentuk pemikiran tentang “Pemufakatan yang Tumpang Tindih tersebut”? Tulisan Sederhana ini, hendak mengajak kita untuk masuk dalam “permainan yang serius” dengan bangunan pemikiran John Rawls tentang “Pemufakatan yang Timpang Tindih.
2.      Pembahasan Pemikiran Pemufakatan yang Tumpang Tindih Rawls
Usaha John Rawls dalam membangun pemikiran tentang “Pemufakatan yang Tumpang Tindih” ini nampaknya analog dengan penenun yang sementara mengerjakan karyanya secara bertahap, yang terbuka terhadap kritik, yang tak segan membongkar, mengurangi, menambahkan bahkan mengubah pola tenunannya sejauh perlu. Oleh karena itu, pendalaman pemikiran tentang “Pemufakatan yang Tumpang Tindih” dari Rawls ini akan dilakukan dengan suatu selidik kembali terhadap benang-benang ide yang telah ia rajut, sejumlah kritik, dan akhirnya tanggapan sang penenun ide yakni Rawls.

2.1.      Gagasan Tentang Pemufakatan yang Tumpang Tindih
John Rawls dalam artikelnya yang berjudul “The Idea of an Overlapping Consensus” menyadari bahwa kondisi historis dan sosial dari sebuah masyarakat menuntut kita untuk memandang  keadilan dalam cara tertentu. Kesadaran terhadap tuntutan tersebut menunjukan betapa penting dan berpengaruhnya kondisi historis dan sosial masyarakat terhadap paham politik tentang keadilan. Apa dan bagaimanakah pengaruh tersebut? Jawaban Rawls bertolak pada tiga ciri khas paham politik tentang keadilan.
Pertama, gagasan tersebut dibangun pertama-tama untuk menerapkan struktur dasar demokrasi Konstitusional modern. Tujuan suatu paham politik secara dasariah dan utama ialah supaya ia dapat diimplikasikan dalam sturktur dasar masyarakat. Ciri ini menuntut suatu pertimbangan akan apa yang nyata, yang praktis, yang terjadi dalam ruang historis dan sosial tertentu. Paham politik hanya memiliki peran atau benar-benar merupakan suatu paham politik hanya sejauh ia dapat tereja-wan-tahkan dalam ruang nyata struktur dasar masyarakat. struktur dasar masyarakat tidak lain merupakan sebuah lahan dasar bagi paham politik tentang keadilan. Sebagaimana padi dan gandum menyata, bertumbuh dan berkembang dalam lahan pertanian, demikian juga struktur dasar masyarakat merupakan tempat di mana benih keadilan politis mengekspresikan dan mengembangkan dirinya sebisa mungkin, sejauh perlu.
Kedua, paham politik tidak boleh dipahami sebagai suatu paham moral yang umum serentak menyeluruh. Ciri kedua ini memperkuat dan mempertegas kembali ciri pertama. Prinsip keadilan hendaknya tidak diterapkan secara deduktif-opresif melainkan secara induktif-komunikatif. Sederhananya, yang adil itu tidak menjadi adil karena hanya ditopang oleh susunan proposisi dan kalimat yang dipaksakan secara umum untuk semua konteks dan situasi melainkan juga oleh pertimbangan bijaksana akan prinsip-prinsip keadilan dasar yang berkembang dalam konteks historis dan sosial masyarakat tersebut. Rawls juga dalam kaitannya dengan hal tersebut, tidak bersifat teleologis seperti kaum utilitarian, perfeksionis dan komunitarian, melainkan deontologis. Dalam teori Rawls yang deontologis tugas negara liberal adalah untuk menjamin kebebasan sipil yang paling mendasar bagi setiap individu. Pelanggaran kebebasan individual tidak pernah bisa diterima, juga demi kesejahteraan yang lebih besar bagi sebagian besar warga yang lain.
Ketiga, paham politik tidak boleh dirumuskan dalam bingkai sebuah doktrin religius, filosofis atau moral yang umum dan komprehensif, tetapi sebaliknya dalam bingkai gagasan Intuitif fundamental tertentu sebagai yang laten di dalam budaya politik publik dari sebuah masyarakat demokratis. Di sini, pertama-tama Rawls mengandaikan pengenalan masyarakat secara intuitif tentang paham demokrasi. Pengandaian ini menyiratkan adanya cita-cita paling dasariah yang dianut bersama yang dapat diusung dalam menentukan prinsip-prinsip tentang yang adil yang dapat memuaskan pelbagai pihak.
Dengan tiga ciri khas tersebut, Rawls coba menggiring masyarakat pada suatu pemahaman mendasar tentang paham politik tentang yang adil. Bertolak dari ketiga ciri khas tersebut, dapat kita katakan bahwa politik yang adil itu mestilah sesuatu yang dapat dieja-wan-tah-kan dalam struktur dasar sosial, yang tidak diterapkan secara deduktif-opresif melulu, serentak yang mempertimbangkan dimensi pemufakatan dari kenyataan keanekaragaman. Melalui tiga ciri khas paham politik tentang yang adil tersebut, Rawls menawarkan suatu prosedur yang dapat diterapkan di tengah suatu realitas publik yang beranekaragam yakni pemufakatan yang tumpang tindih.
Melalui bukunya “Political Liberalism” (1993), Rawls mencoba untuk menjernihkan dan memperbaiki kelemahan teori yang dibahasnya dalam “Theory of Justice”. Beragam perluasan masalah (problem of extension) yang muncul di kemudian hari, berusaha dijawab olehnya dalam “PL” yang tidak hanya sebatas bagaimana cara membentuk keadilan sosial, namun juga bagaimana politik yang adil, bebas, dan teratur dapat terus dipelihara dalam konteks kekinian serta situasi sosial yang ditandai dengan adanya keanekaragaman agama, filsafat, dan doktrin moral. Dalam bukunya tersebut, Rawls tidak saja memperkenalkan gagasan yang disebutnya sebagai “pemufakatan yang tumpang tindih” (overlapping consensus) guna membentuk kesepakatan terhadap keadilan dan kesamaan diantara warga negara yang memiliki pandangan keyakinan agama dan filosofis yang berbeda-beda, namun juga menguraikan ide tentang “nalar publik” (public reason) sebagai penalaran bersama dari seluruh warga negara.
Berbeda dengan konsepsi dan paham kebebasan berpolitik yang ditawarkan oleh John Locke atau John Stuart Mill yang lebih mengedepankan filsafat kebebasan budaya dan metafisik, melalui “Political Liberalism” John Rawls mencoba untuk memperkuat argumentasi dari adanya kemungkinan kesepakatan yang lebih bebas tanpa memperhatikan kedalaman dari nilai-nilai keyakinan agama dan metafisik yang disetujui oleh para pihak sepanjang kesepakatan tersebut terbuka untuk dibicarakan secara damai, logis, adil, dan bijaksana, serta melepaskan adanya klaim-klaim atas kebenaran yang universal (universal truth).
Dengan demikian, John Rawls telah menyempurnakan prinsip-prinsip keadilannya menjadi sebagai berikut: Pertama, setiap orang memiliki klaim yang sama untuk memenuhi hak-hak dan kemerdekaan-kemerdekaan dasarnya yang kompatibel dan sama jenisnya untuk semua orang, serta kemerdekaan berpolitik yang sama dijamin dengan nilai-nilai yang adil; Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi dapat dipenuhi atas dasar dua kondisi, yaitu: (a) melekat untuk jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang dibuka bagi semua orang di bawah kondisi adanya persamaan kesempatan yang adil; dan (b) diperuntukan sebagai kebermanfaatan sebesar-besarnya bagi anggota-anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan.

Perbedaan prinsip-prinsip yang dikemukan dalam “TJ” (Theory of Justice) dan “PL” (Political Liberalism) tersebut terletak pada konsep yang awalnya disebut sebagai “hak yang sama” (equal rights) menjadi “klaim yang sama” (equal claim), serta adanya modifikasi terhadap frasa “sistem kemerdekaan-kemerdekaan dasar” (system of basic liberties) menjadi “skema pemenuhan yang memadai terhadap hak-hak dan kemerdekaan-kemerdekan dasar” (a full adequate scheme of equal basic rights and liberties).
2.2.      Keberatan Terhadap Pemikiran Pemufakatan yang Tumpang Tindih dan Tanggapan Rawls
Gagasan tentang “pemufakatan yang tumpang tindih dari Rawls ini” nampaknya mendapat tanggapan yang beranekaragam pula. Tentunya kita tidak akan membahas semua tanggapan atas pemikiran “pemufakatan tumpang tindih Rawls”. Kita hanya akan menyoroti sejumlah keberatan yang ditujukan kepada Rawls berkenaan dengan pemikirannya tersebut. Ralws memberikan pendapatnnya pertama-tama untuk keberatan yang paling gamblang, barulah ia masuk secara lebih khusus ke dalam empat kritikan dari sejumlah sudut pandang tertentu.
Keberatan paling gamblang yang terlontar dari para pengritiknya adalah bahwa pemufakatan yang tumpang tindih hanyalah sekedar modus vivendi. Rawls menjawabinya dengan tiga contoh pandangan politik, yakni politik yang menegaskan dirinya dalam doktrin religious, politik yang menegaskan dirinya di dalam doktrin moral komprehensif dan politik yang menegaskan dirinya dalam politik itu sendiri (melalui pemufakatan). Bagi Rawls yang ketiga inilah yang paling stabil ketimbang dua yang lainnya karena ia berkembang secara kontekstual.
Setelah menjawabi keberatan yang paling gamblang tersebut, Rawls mencoba menyoroti sejumlah keberatan dan beberapa sudut pandang yang berbeda. Keberatan pertama datang dari kaum komunitarian. Pandangan Ralws dianggap mengabaikan harapan paguyuban politik. Rawls menanggapi keberatan ini dengan menegaskan kembali bahwa pada prinsipnya, secara dasariah, pemufakatan yang tumpang tindih bukanlah untuk mengabaikan harapan dari kolektivitas politik tetapi mempertemukannya dalam kerangka yang paling mungkin, adil dan wajar.
Keberatan kedua-mungkin dari para pengamat nilai-diajukan terhadap pemikiran Rawls dengan argumen bahwa pemikirannya bisa saja berujung pada indiferensi atau skeptisisme paham politik tentang keadilan yang benar dan salah. Mengenai kritik ini Rawls menegaskan kembali bahwa doktrin-doktrin yang kita anggap paling komprehensif pun-kendati kita tegaskan kembali kemudian-tidak dapat diterapkan pada semua kasus struktur dasar. Kita mungkin akan menggunakan doktrin religious dan moral untuk kasus tertentu. Akan tetapi penerapan itu tidaklah boleh dipandang melebihi apa yang disebut dengan pemufakatan.  
Keberatan ketiga datang berargumen bahwa paham politik praktis mestilah bercorak umum dan komprehensif agar mampu memutuskan keadilan secara pasti. Menurut Rawls yang adil itu tidaklah melulu sesuatu yang mesti dipaksakan secara deduksi dengan doktrin-doktrin yang komprehensif. Keadilan merupakan titik temu  antara  apa yang baik dan benar. Pemufakatan tumpang tindih berusaha mempertemukan keberagaman dalam suatu nilai dasariah yang dapat dianut dan diterima secara bersama.
Keberatan terakhir yang turut dipertimbangkan Rawls adalah argumen bahwa pemufakatan tumpang tindih itu bercorak utopis karena tidak adanya kekuatan politik, sosial atau psikologi yang memadai untuk memberinya kestabilan. Menjawabi keberatan ini, Rawls menegaskan kembali bahwa pemufakatan merupakan suatu sistem ekulibrium reflektif yang didasarkan pada ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society). Dengan demikian pemufakatan menuntut pertimbangan yang masuk akal yang dapat diterima dalam keanekaragaman dan bukan asal-asalan terhadap setiap putusan tentang keadilan. Dengan demikian juga, Rawls mengafirmasi nalar publik sebagai suatu pijakan keadilan.
3.      Catatan Akhir
Ketika berbicara tentang konsep keadilan, tentunya para pakar ilmu filsafat, hukum, ekonomi, dan politik di seluruh belahan dunia, tidak akan melewati pelbagai teori yang dikemukakan oleh John Rawls. Kesepadanan antara prinsip-prinsip keadilan Rawls dengan karakteristik negara-negara berkembang, khususnya yang memiliki latar belakang masyarakat yang beranekaragam, menjadikan pengembangan prinsip tersebut merebak secara cepat dan luas bak cendawan di musim hujan. Namun demikian, adanya kelemahan-kelemahan konsepsi Rawls sebagaimana diutarakan oleh kelompok arus utama pemikir lainnya, selain harus dijadikan catatan penting dalam pengimplementasiannya, juga harus didudukan secara proporsional dalam perdebatan akademisnya, sehingga pengembangan diskursus tentang keadilan tidak akan pernah pudar semata-mata untuk menyempurnakan konsepsi “keadilan sosial” yang seadil-adilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar