Minggu, 05 Mei 2013

Download PDF Book The Morality of Pluralism John Kekes



 
John Kekes dalam karyanya The Morality of Pluralism menunjukan bagaimana kita mesti menilai fakta-fakta tersebut dalam horizon berpikir pluralisme.  Lebih jauh John Kekes menunjukan bagaimana seharusnya kita menaggapi perbedaan. Hal ini ia eksplikasikan lewat enam tesis pluralismenya.
Pertama, pluralitas dan kondisionalitas nilai.[1] Jika ditilik dari sudut pandang kaum absolutis yang cenderung memaksakan nilai-nilai secara deduktif-opresif  yang seringkali menindas fakta perbedaan. Sementara, kaum relatifis seringkali mengabaikan pelbagai negativitas karena skeptisisme mereka yang besar akan adanya suatu pengakuan moral.  Pluralisme menolak adanya (sistem) nilai yang selalu wajib dianggap “unggul” (overriding), sumber otoritas. Tapi, dengan merujuk pada keserupaan watak dasar manusia, pluralisme mengakui adanya nilai-nilai universal, seperti persahabatan, keadilan dan kemerdekaan. Politik Identitas bisa dilakukan asal saja tidak menindas keserupaan-keserupaan watak dasar manusia.

bookjacket            Kedua, ketakterelakan konflik.[2] Baik pluralisme maupun relativisme sama-sama meyakini bahwa moralitas berikut nilai-nilainya yang beragam tidaklah bisa saling diperbandingkan. Berlainan dengan kaum monistis yang melihat nilai-nilai dalam konstelasi hirarkis. Paradigma demikian akan menimbulkan suatu penindasan bagi nilai yang lain. Persoalan tersebut tentu akan menimbulkan konflik kala nila-nilai yang dianggap benar atas kondisi tertentu saling berbenturan. Dari sudut pandang demikian, mungkin dalam menilai politik identitas, kita bisa menemukan dua modus jawaban bertolak belakang. Pertama, bisa saja ia sebagai sebuah tanggapan berbentuk suatu relativisme dan pluralisme atas totalitarianisme kaum monistis. Kedua, dalam prosesnya ia bisa saja kembali pada jurang totalitarianisme ketika ia memadatkan dan mengeraskan semua bentuk perbedaan sampai tidak ada ruang dialog dan koreksi.
Ketiga, tersedianya suatu pendekatan resolusi konflik yang masuk akal.[3] Yang mau ditekankan di sini adalah persoalan tentang dinamika konflik. Hal ini berkaitan dengan prosedur yang digunakan ketika berhadapan dengan fakta konflik nilai. Tentulah, jalan yang mampu ditempuh adalah negosiasi untuk menemukan suatu versi terbaik dari yang terbaik dari pelbagai rupa-ragam nilai-nilai tersebut. Perbedaan pendapat tentang apa yang “terbaik” itu boleh jadi akan bermuara pada sasaran bersama kita, yakni pelestarian atas sistem nilai yang kita anut bersama.[4] Oleh karena itu, menerjemahkan cara berpikir, sebuah tuangan berpikir, sebuah disposisi mental kedalam hal-hal nyata adalah hal-hal yang harus dikembangkan setelah kebiasaan-kebiasaan lama digantikan kebiasaan-kebiasaan baru.[5] Dalam hal ini, jelas bahwa politik identitas mesti dapat menjelaskan dirinya secara rasional dan reasonable ke dalam ruang praksis publik.
Keempat, hidup sebagai kemungkinan-kemungkinan.[6] Lewat fungsi eksplorasi, kita dapat memperbesar kemungkinan-kemungkinan, memperluas kemerdekaan, sekaligus meningkatkan apresiasi terhadap aneka konsepsi nilai dan moral yang plural. Akan tetapi, Hal ini belumlah cukup. Kita membutuhkan juga suatu cara melihat yang evaluatif agar kita tidak tertipu oleh kesan-kesan yang sebenarnya tidak dapat membantu dalam membangun suatu relasi yang bercorak plural yang diwarnai dengan pengakuan dan toleransi. Dalam hal ini, politik identitas dapat dibenarkan ataupun disalahkan atas cara tertentu jika dalam perluasan, muncul kemungkinan-kemungkinan yang lebih rasional dan reasonable.
Kelima, perlunya batas-batas.[7] Memahami pluralisme berkaitan dengan bagaimana ia berbeda dengan monisme di satu pihak dan relativisme di lain pihak.[8] Dalam hal moral, menurut Kekes pluralisme adalah teori yang mencurahkan perhatiannya demi menemukan resolusi konflik yang masuk akal diantara aneka macam nilai. Ia bukanlah suatu perayaan dari kepusparagaman nilai-nilai moral yang melupakan garis-garis manusiawi. Jika kaum monistis batas atau patokan itu ialah suatu bentuk kebenaran mutlak tertentu dam bagi kaum relativis nilai-nilai hanya sanggup dilihat dari kaca-mata subjektif, maka kaum pluralis menegaskan posisinya sebagai penjungjung nilai-nilai universal manusiawi. Dengan demikian jelas bahwa, segala bentuk penindasan sekalipun dengan berkedok politik identitas dapat dibenarkan dan disalahkan sejauh mana mereka menghormati kemanusiaan.
Keenam, adanya ukuran kemajuan moral.[9] Kaum monistis pada banyak jalan sering menerapkan nilai-nilai secara deduktif-opresif kepada pihak-pihak lain oleh karena keyakinannya akan konstelasi hirarkis nilai-nilai. Sementara itu, kaum relativis kerap kali terlampau mudah mengatakan segala-galanya berubah karena itu kita tidak dapat menilai kemajuan moral karena tidak memiliki dasar yang tetap. Kaum pluralis sendiri tidak memihak kebenaran versi manapun. Akan tetapi, posisi kaum pluralis jelas lebih seimbang ketimbang kaum mosistis-absolutis dan relativis. Cara kaum pluralis mengukur ialah dengan menilai seberapa teguh masyarakat yang bersangkutan merawat “aturan main” yang memungkinkan tumbuhnya aneka nilai yang bersifat kondisional, incompatible dan incommensurable itu, sehingga masing-masing pemahaman bisa tumbuh sehat serentak dapat tumbuh berkembang dan tinggal bersama-sama dengan nuansa toleransi. Oleh karena itu, politik identitas dapat dinilai sejauh ia tidak melanggar aturan main dalam dunia yang dipenuhi dengan pelbagai pusparagam pelbedaan.
Download Buku John Kekes di Link ini:

DOWNLOAD

                [1] John Kekes, The Morality of Pluralism (Princeton:New Jersey,1993), p. 38-42
                [2] Ibid., p. 53-74.
                [3] Ibid., p. 76-92.
                [4] John Kekes, Enam Tesis Pluralisme, dalam Demokrasi Pluralisme, Dan Toleransi, Felix Baghi (Editor)(Maumere:Ledalero,2012), p. 90.
                [5] Ibid.,
                [6]John Kekes. Op. Cit., p. 99-116.
                [7] Ibid., p. 118-132.
                [8] Felix Baghi. Op. Cit., p. 90.
                [9] John Kekes. Op. Cit., p. 139-159.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar