John
Kekes dalam karyanya The Morality of
Pluralism menunjukan bagaimana kita mesti menilai fakta-fakta tersebut
dalam horizon berpikir pluralisme. Lebih
jauh John Kekes menunjukan bagaimana seharusnya kita menaggapi perbedaan. Hal
ini ia eksplikasikan lewat enam tesis pluralismenya.
Pertama,
pluralitas dan kondisionalitas nilai.[1] Jika
ditilik dari sudut pandang kaum absolutis yang cenderung memaksakan nilai-nilai
secara deduktif-opresif yang seringkali
menindas fakta perbedaan. Sementara, kaum relatifis seringkali mengabaikan
pelbagai negativitas karena skeptisisme mereka yang besar akan adanya suatu
pengakuan moral. Pluralisme menolak adanya (sistem)
nilai yang selalu wajib dianggap “unggul” (overriding),
sumber otoritas. Tapi, dengan merujuk pada keserupaan watak dasar manusia,
pluralisme mengakui adanya nilai-nilai universal, seperti persahabatan,
keadilan dan kemerdekaan. Politik Identitas bisa dilakukan asal saja tidak
menindas keserupaan-keserupaan watak dasar manusia.
Kedua, ketakterelakan konflik.[2]
Baik pluralisme maupun relativisme sama-sama meyakini bahwa moralitas berikut
nilai-nilainya yang beragam tidaklah bisa saling diperbandingkan. Berlainan
dengan kaum monistis yang melihat nilai-nilai dalam konstelasi hirarkis.
Paradigma demikian akan menimbulkan suatu penindasan bagi nilai yang lain. Persoalan
tersebut tentu akan menimbulkan konflik kala nila-nilai yang dianggap benar
atas kondisi tertentu saling berbenturan. Dari sudut pandang demikian, mungkin
dalam menilai politik identitas, kita bisa menemukan dua modus jawaban bertolak
belakang. Pertama, bisa saja ia
sebagai sebuah tanggapan berbentuk suatu relativisme dan pluralisme atas
totalitarianisme kaum monistis. Kedua,
dalam prosesnya ia bisa saja kembali pada jurang totalitarianisme ketika ia memadatkan
dan mengeraskan semua bentuk perbedaan sampai tidak ada ruang dialog dan
koreksi.
Ketiga, tersedianya suatu pendekatan
resolusi konflik yang masuk akal.[3]
Yang mau ditekankan di sini adalah persoalan tentang dinamika konflik. Hal ini
berkaitan dengan prosedur yang digunakan ketika berhadapan dengan fakta konflik
nilai. Tentulah, jalan yang mampu ditempuh adalah negosiasi untuk menemukan
suatu versi terbaik dari yang terbaik dari pelbagai rupa-ragam nilai-nilai
tersebut. Perbedaan pendapat tentang apa yang “terbaik” itu boleh jadi akan
bermuara pada sasaran bersama kita, yakni pelestarian atas sistem nilai yang
kita anut bersama.[4]
Oleh karena itu, menerjemahkan cara berpikir, sebuah tuangan berpikir, sebuah
disposisi mental kedalam hal-hal nyata adalah hal-hal yang harus dikembangkan
setelah kebiasaan-kebiasaan lama digantikan kebiasaan-kebiasaan baru.[5]
Dalam hal ini, jelas bahwa politik identitas mesti dapat menjelaskan dirinya
secara rasional dan reasonable ke
dalam ruang praksis publik.
Keempat, hidup sebagai
kemungkinan-kemungkinan.[6]
Lewat fungsi eksplorasi, kita dapat memperbesar kemungkinan-kemungkinan,
memperluas kemerdekaan, sekaligus meningkatkan apresiasi terhadap aneka
konsepsi nilai dan moral yang plural. Akan tetapi, Hal ini belumlah cukup. Kita
membutuhkan juga suatu cara melihat yang evaluatif agar kita tidak tertipu oleh
kesan-kesan yang sebenarnya tidak dapat membantu dalam membangun suatu relasi
yang bercorak plural yang diwarnai dengan pengakuan dan toleransi. Dalam hal
ini, politik identitas dapat dibenarkan ataupun disalahkan atas cara tertentu
jika dalam perluasan, muncul kemungkinan-kemungkinan yang lebih rasional dan reasonable.
Kelima, perlunya batas-batas.[7]
Memahami pluralisme berkaitan dengan bagaimana ia berbeda dengan monisme di
satu pihak dan relativisme di lain pihak.[8]
Dalam hal moral, menurut Kekes pluralisme adalah teori yang mencurahkan
perhatiannya demi menemukan resolusi konflik yang masuk akal diantara aneka
macam nilai. Ia bukanlah suatu perayaan dari kepusparagaman nilai-nilai moral
yang melupakan garis-garis manusiawi. Jika kaum monistis batas atau patokan itu
ialah suatu bentuk kebenaran mutlak tertentu dam bagi kaum relativis
nilai-nilai hanya sanggup dilihat dari kaca-mata subjektif, maka kaum pluralis
menegaskan posisinya sebagai penjungjung nilai-nilai universal manusiawi. Dengan
demikian jelas bahwa, segala bentuk penindasan sekalipun dengan berkedok
politik identitas dapat dibenarkan dan disalahkan sejauh mana mereka
menghormati kemanusiaan.
Keenam, adanya ukuran kemajuan moral.[9]
Kaum monistis pada banyak jalan sering menerapkan nilai-nilai secara
deduktif-opresif kepada pihak-pihak lain oleh karena keyakinannya akan
konstelasi hirarkis nilai-nilai. Sementara itu, kaum relativis kerap kali
terlampau mudah mengatakan segala-galanya berubah karena itu kita tidak dapat
menilai kemajuan moral karena tidak memiliki dasar yang tetap. Kaum pluralis
sendiri tidak memihak kebenaran versi manapun. Akan tetapi, posisi kaum
pluralis jelas lebih seimbang ketimbang kaum mosistis-absolutis dan relativis. Cara
kaum pluralis mengukur ialah dengan menilai seberapa teguh masyarakat yang
bersangkutan merawat “aturan main” yang memungkinkan tumbuhnya aneka nilai yang
bersifat kondisional, incompatible dan incommensurable itu, sehingga masing-masing pemahaman bisa tumbuh
sehat serentak dapat tumbuh berkembang dan tinggal bersama-sama dengan nuansa
toleransi. Oleh karena itu, politik identitas dapat dinilai sejauh ia tidak
melanggar aturan main dalam dunia yang dipenuhi dengan pelbagai pusparagam
pelbedaan.
Download Buku John Kekes di Link ini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar