Minggu, 05 Mei 2013

Perluasan Postmodernisme dalam Bidang Arsitektur dan Sosiologi



1. Postmodernisme dalam dunia arsitektur
Walaupun direfleksikan secara mendasar dalam dunia sastra, tetapi untuk publik yang lebih luas postmodernisme sering dikaitkan dengan dunia arsitektur. Malah bidang ini dilihat sebagai contoh yang paling jelas dari konsep postmodernisme. Istilah ini sudah mulai digunakan dalam dunia arsitektus sejak tahun 1949. Namun, yang berarti adalah penggunan istilah ini pada tahun 1972 oleh Robert Venturi, yang bersama beberapa temannya membuat Manifesto Arsitektur, dalam buku mereka Learning from Las Vegas. Mereka tidak mempersoalkan moralitas Las Vegas, melainkan bangunannya. Di Las Vegas telah berkemna sebuah pandangan di kalangan artitek: tidak lagi membangun untuk per orangan (building for man), melainkan untuk banyak orang (building for men [markets]). 
Kemudian istilah ini digunakan dalam diskusi yang lebih sistematis tentang arsitektur pada tahun 1975 oleh Charles Jenks. Dia menggunakan pengertian ini secara positif. Jenks adalah  seorang arsitek dan kritikus arsitektur berkebangsaan Amerika yang pindah ke London. Jenks menggunakan istilah ini untuk arsitektur dalam artikelnya yang berjudul The Rise of Post-Modern Architecture. Sejak ini dunia arsitektur menjadi bidang perdebatan hangat antara moderen dan postmoderen. Kemudian, pad atahun 1977 dia menulis buku: The Language of Postmodern Architecture. Jenks masih sadar sepenuhnya akan kesan negatif yang dihubungkan dengan istilah ini. Sebab itu, dia menggunakan juga pengertian eklektisisme radikal untuk jenis arsitektur ini. Pada pendahuluan buku dibaca kalimat-kalimat ini: “Kesalahan arsitektur moderen adalah bahwa dia terarah kepada satu kelompok elit. Postmoderen berusaha melampaui tuntutan elitis ini, tetapi bukan dengan meninggalkannya sama sekali, melainkan dengan memperluas bahasa arsitektur ke berbagai arah…. Karena ada ada kedifikasi ganda bagi arsitektur, yang menyapa kelompok elite dan orang-orang biasa”. Menjadi jelas di sini bahwa Jencks menerapkan keseluruhan pandangan Fiedler dalam bidang sastra untuk arsitektur.
Sebagaimana sastra moderen, arsitektur moderen pun tidak sanggup menyapa hati dan pikiran para orang kebanyakan. Dia terlampau eliter, intelektual, terlampau banyak menggunakan baja dan kaca. Ada semacam satu macam arsitektur universal, semacam pengungkapan satu gagasan pencerahan yang berlaku universal. Dalam arsitektur semacam ini manusia sebagai kosmopolit dan subjek berbagai prinsip universal. Arsitektur menjadi uniform. Kantor dan Museum, rumah tinggal dan rumah ibadat, dibangun dalam gaya yang sama di mana-mana, tanpa banyak memperhatikan kekhasan setempat.
Berbeda dari arsitektur moderen, postmodernisme ditandai oleh keterarahan pada pemakai dan pemirsa dan dipahami sebagai bahasa. Untuk masyarakat yang majemuk seperti yang ada sekarang, sebuah bangunan hanya akan memenuhi tuntutan ini apabila dia sanggup menghadirkan secara serentak berbagai gaya. Dia mesti mengkombinasikan beragam bahasa arsitektur, misalnya tradisional dan moderen, eliter dan popular, internasional dan lokal. Dia merupakan arsitektur yang berkode ganda, atau malah berkode jamak (double-coding). Arsitektur postmoderen adalah arsitektur yang polyglot. Arsitektur postmoderen ditandai oleh kodifikasi ganda dan eklektisisme radikal. Di dalam arsitektur ini orang menggabungkan yang modern dan historis, citarasa terpelajar dan sensibilitas populer.[1]
Kita dapat mengatakan bahwa arsitektur moderen ditandai oleh kuatnya peran fungsi. Arsitektur dibuat untuk memenuhi tuntutan fungsi. Arsitektur postmoderen sebaliknya ditata untuk memberi tempat bagi fiksi dan imaginasi. Untuk itu mungkin baik kita perhatikan ciri arsitektur. Arsitektur adalah seni yang melekat erat pada kehidupan, yang sangat dekat dengan peran untuk kehidupan. Maka dia sangat ditentukan oleh kegunaan. Dia tidak pernah dapat hanya memenuhi peran keindahan sebagai satu karya seni. Karena itu dapat dipahami bahwa dalam kecenderungan moderen orang terlampau menekankan fungsi sambil mengabaikan fiksi, sehingga yang tersisa dari sebuah bangunan hanyalah teknik membangun. Tetapi dalam arstektur tidak akan diwarnai oleh bangunan-bangunan monumental, apabila pembangunnya hanya memperhatikan peran fungsi. Di tengah kecenderungan fungsionalisme moderen bangunan sebagai satu bentuk ekspresi seni, sebagai sebuah tempat puitis, tidak mempunyai tempat. Kini ada pembebasan dari orientasi total pada fungsi ini. Bangunan lalu menjadi karya-karya fiksi dan estetis, ungkapan seni yang tidak hanya dalam bentuk abstrak, tetapi tampil sebagai bangunan.
Arsitektur yang polyglot ini memang menyulitkan kesatuan. Sangat sulit menimbulkan kesan kesatuan di dalam bangunan seperti ini. Sebaliknya, dia akan sangat mudah melahirkan kesuka-sukaan. Inilah sebabnya, mengapa postmodernisme sangat dekat dengan tuduhan kesuka-sukaan. Kesuka-sukaan bukanlah tujuan dari arsitektur. Tetapi bahaya seperti ini memang sulit dihindarkan, tetapi tidak dimaksudkan. Untuk itu perlu diingat bahwa arsitektur postmoderen hendak menjadi polyglot, memaparkan banyak bahasa. Bahasa, dan bukannya kata atau penggalan tertentu. Arsitektur postmoderen dalam arti yang dikehendaki belum terwujud apabila orang sekedar memaparkan potongan-potongan dari gaya tertentu, tetapi perlu memahami keseluruhan struktur berpikir dalam gaya itu, sehingga ketika melihat potongan tertentu, pemirsa dapat menangkap bahasanya. Pada dasarnya inilah yang membedakan postmodernisme murahan dari postmodernisme dengan sebuah tuntutan.
Masih menurut Jencks, sebenarnya para arsitek posmoderen menghendaki adanya titik pusat. Mereka mencarinya dan mengira menemukannya dalam gaya klasik yang dijadikannya model. Tetapi mereka gagal menemukan dan menempatkan titik pusat itu.
Tanggapan atas pendapat Jenks ini demikian kuat dan meluas, dan kenyataan ini sangat menentukan dalam penyebarluasan gagasan dan bayangan tentang postmodernisme. Pada pertengahan tahun 80-an Jenks sudah melihat dengan jelas ciri masyarakat dan peradaban postmodern, yang sangat majemuk dan toleran, yang membuat polarisasi tidak masuk akal. Istilah-istilah seperti: sayap kiri dan sayap kanan, kapitalis dan para pekerja, tidak mempunyai arti lagi.[2]

2. Postmodern dalam Sosiologi
Setelah melihat beberapa fase dalam perkembangan pengertian dan perluasan serta penerapannya pada beberapa bidang, kita perlu memperhatikan juga penerapannya pada bidang sosiologi, karena ini akan mengungkapkan sejumlah fenomen sosial yang menjawab pertanyaan, apakah sungguh ada gejala perilaku manusia yang mengharuskan lahirkan sebuah aliran pemikiran baru dalam filsafat. Di sini hanya disebutkan sosiolog yang pada fase yang relatif muda sudah menggunakan pengertian ini untuk menunjukkan fenomen sosiologis baru. Kemudian aa banyak sekali ulasan sosiologis tentang fenomen postmodern.
Untuk pertamanya kalinya istilah masyarakat postmoderen digunakan oleh Amitai Etzioni, seorang filsuf sosial berkebangsaan Yahudi yang tinggal di USA pada tahun 1968. Etzione menuangkan gagasan sosiologisnya dalam buku The Active Society. Akhir dari modernitas tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi melalui transformasi. Transformasi ini bermula setelah Perang Dunia II, “ di mana kekuatan bisnis besar dan kaum elit yang sudah mapan sedang mengalami kemunduran”.[3] Kemunduran ini serentak memberi ruang bagi semua lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan berkenaan dengan kehidupan bersama. Dengan ini, periode ini memberikan ruang bagi pelaksanaan demokrasi secara benar.
Postmodernitas dalam pengertian di atas menjadi mungkin karena adanya perubahan dalam teknik, yakni teknik komunikasi, informasi dan energi. Teknologi yang memproduksi dalam bidang-bidang ini menjadi semakin efisien, dan ini membuka kemungkinan kepada semua warga untuk memperoleh informasi. Tetapi serentak dengan itu, kemajuan teknologi membahayakan nilai-nilai yang hendak diwujudkan dalam bidang-bidang ini. Perkembangan dalam produksi teknologi komunikasi dapat merendahkan kualitas komunikasi itu sendiri. Postmodernitas dapat ditandai oleh menjadi kian terancamnya nilai-nilai itu karena perkembangan teknologi, atau pemulihan kembali prioritas nilai-nilai ini di hadapan teknologi. Di sini masyarakat seluruhnya dihaapkan pada pilihan yang menentukan. Opsi yang dipilih akan menjamin, entahkah masyarakat akan menjadi hamba atau tuan atas instrumen-instrumen ciptaannya. Etzioni sendiri mengimpikan bahwa masyarakat postmodern akan menjadi masyarakat yang menjadi tuan atas teknologi, yang menempatkan teknik sebagai sarana yang dibutuhkan dan dipakai serta dikuasainya. Masyarakat seperti ini adalah sebuah masyarakat aktif.
Sebenarnya dalam sosiologi pengertian yang lebih dulu lazim dipakai bukanlah postmodern melainkan postindustri. Pengertian ini dirangkaikan dengan nama David Riesman yang memakai istilah untuk pertama kalinya pada tahun 1958. Istilah ini menjadi luas dikenal berkat karya Daniell Bell, seorang sosiolog Amerika lainnya sejak tahun 1973.
Kedua pengertian ini menunjukkan konsep dan opsi yang sama. Keduanya berangkat dari pandangan akan perubahan dalam teknik. Masyarakat postindustri dan postmodern ditandai oleh intenfisikasi peran teknologi. Masyarakat ini dijiwai oleh persenyawaan antara pengetahuan dan teknologi serta perencanaan dan pengaturan perkembangan sosial. Masyarakat postindustri dan postmoderen adalah masyarakat yang menggunakan sarana industri secara lebih efisien.
Kendati demikian, ada sedikit perbedaan penekanan pada kedua pemikir ini, Bell dan Etzioni. Kalau Etzioni memilih masyarakat aktif sebagai masyarakat yang menjadi tuan atas sarana teknis, maka Bell mengimpikan sebuah masyarakat postindustri ditandai oleh proses teknologisasi. Dalam konsep postindustri satu tipe rationalitas, yakni rationalitas teknis, dilihat sebagai satu-satunya rationalitas. Tetapi Bell sendiri meragukan entahkah manusia dapat hidup dan bertahan dalam masyarakat seperti ini.
Apabila masyarakat postindustri menekankan radikalisasi industri dengan rasionalitas teknisnya, maka masyarakat postmodernis ditandai oleh kesadaran dan keyakinan bahwa permasalahan manusia dan peradaban tidak dapat dipecahkan dengan hanya mengandalkan satu tipe rasionalitas. Juga rasionalitas industri tidak lagi menjadi resep tunggal yang dapat menjawabi kebutuhan hidup manusia. “Tidak ada rasionalitas tunggal yang dapat mendapat menjawab berbagai persoalan” (Ritzer, 15).
Walaupun baru hanya berkenalan secara sepintas dengan kedua teori sosial masyarakat postmodern, kita dapat membuat satu perbandingan sederhana antara teori-teori sosial modern dengan teori-teori sosial postmodern. Dari perbandingan ini kita dapat mengatakan bahwa teori-teori sosial modern cenderung menjadi absolut, rasional dan menerima posibilitas kebenaran. Teori Karl Marx, Max Weber atau Emilie Durkheim adalah contoh teori sosial modern. Sebaliknya teori sosial postmodern cenderung menjadi relativistik dan membuka kemungkinan irrasionalitas. Disebutkan empat kelemahan dasar dari teori sosial modern yang menjadikannya mudah digoyahkan oleh teori sosial postmodern (Ritzer, hlm. 23-24).
Pertama, kecenderungan saintisme. Maksudnya, teori-teori sosial dibangun dengan konsep seperti ilmu eksakta, seolah peri laku sosial berlangsung menurut hukum-hukum seperti hukum alam. Ilmu sosial seperti ini dijiwai oleh gagasan dasar bahwa ada satu struktur yang sama yang menjadi basis dari semua masyarakat. Ada ide universal dan hukum-hukum sosial yang sama di dalam semua masyarakat. Kenyataan sering menunjukkan adanya perbedaan yang tajam dalam masyarakat-masyarakat.
Kedua, teori sosial modern dikerjakan sebagai satu bentuk fundasionalisme. Maksudnya, teori sosial mendasarkan diri dalam prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan filosofis yang kuat, yang dapat menjadi ideologi yang menjiwai satu gerakan perubahan. Tujuan ilmu sosial modern adalah membongkar logika masyarakat dan menemukan kebenaran yang mencerminkan dunia sosial. Dengan ini para teoritisi sosial beranggapan bahwa mereka sanggup dan harus sanggup membangun konsep yang menjadi dasar tunggal bagi semua penjelasan tentang fenomen sosial. Tetapi dalam kenyataan orang harus melihat perbedaan antara cara penerapan ilmu yang diharapkan dan cara yang sebenarnya berfungsi.
Ketiga, teori-teori sosial modern memiliki kecenderungan totalisasi pandangan hidup. Maksudnya adalah bahwa apa yang dikonsepkan dapat diterapkan dan dibenarkan kapan dan di mana saja. Konsep-konsep dasar itu misalnya industrialisasi, modernisasi, sekularisasi atau demokrasi. Teori-teori sosial modern berusaha menerapkan gagasan-gagasan world view ini pada semua masyarakat. Dengan kecenderungan seperti ini teori-teori sosial modern mengabaikan multisisi, heterogenitas, kekacauan sosial yang terdapat di dalam banyak masyarakat. Selain itu mereka mentransfer apa yang dipikirkan dan terjadi dalam masyarakat Eropa ke berbagai masyarakat lain dan berpendapat bahwa di sana pun terjadi proses sosial yang sama. Dengan ini menjadi semakin jelas pula bagi banyak pihak bahwa teori sosial yang diciptakan itu sanbat responsif pada kebutuhan kekuasaan dan cenderung mendukung posisi mereka di tengah masyarakat.
Keempat, teori sosial modern cenderung bersifat esensialis, artinya melihat manusia sebagai orang yang memiliki karakteristik dasar, rapi dan tidak berubah. Mereka berbicara tentang manusia dan memandang kondisi sosial sebagai ekspresi dari manusia ideal itu. Sebab itu teori-teori ini dipandang gagal memperhatikan manusia berdasarkan orientasi gender, ras, etnisitas, kelas atau orientasi seksual.
Teori sosial postmodern dilihat sebagai reaksi atas teori-teori sosial modern sebagaimana dilukiskan di atas. Tetapi tentu ada keberagaman dalam teori sosial postmodern, sebagaimana dikehendaki oleh intensi dasarnya yang menggarisbawahi pluralitas. Dewasa ini tampak jelas bahwa ilmu-ilmu sosial jauh berkembang di negara-negara Asia dan Amerika Latin daripada Eropa dan Amerika Utara. 
Kita dapat menemukan tiga posisi utama dalam teori sosial postmodern. Pertama postmodernisme ekstrim, yang berpendapat bahwa telah terjadi satu kesenjangan besar dan radikal dari masyarakat modern ke masyarakat postmodern. Posisi kedua adalah posisi yang moderat, yang berpendapat bahwa selain terdapat sejumlah perbedaan, postmodernitas menunjukkan pula kesamaan dengan modernitas dan karena melanjutkan modernitas. Masyarakat postmodern adalah masyarakat yang berada pada tahap lanjut dari masyarakat modern. Posisi ketiga memandang masyarakat postmodern sebagai satu alternatif terhadap masyarakat modern. Masyarakat postmodern muncul sebagai kritik dan berada berdampingan dengan masyarakat modern.
Hemat saya, kita dapat berpegang pada pandangan itu, bahwa teori sosial postmodern memandang masyarakat postmodern sebagai „kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya“. Masyarakat postmodern mempertanyakan segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, seperti industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, paham negara-bangsa, percepatan kemajuan dalam tempo tinggi. Teori sosial postmodern memandang masyarakat postmodern sebagai masyarakat yang menolak metanarasi, totalitas dan universalitas. Sebaliknya, mereka menekankan narasi lokal. Dengan penekanan pada narasi lokal ini, teoritisi postmodern menjadi „pendongeng-pendongeng“. Dengan demikian tidak ada lagi  batasan antara teoritisi dan mayarakat biasa. Selain itu, sebagai konsekuensi dari kritik atas modernitas, mereka cenderung mengimpikan fenomena-fenomena pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, magis, mitos, pengalaman mistik. Selanjutnya, masyarakat postmodernis dielihat tidak lagi berpegang pada batasan-batasan yang kaku antara berbagai disiplin ilmu dan bidang kehidupan. Apa yang dibatasi secara tegas dalam masyarakat modern diangkat. Batasan menjadi mengalir: fiksi dan teori, fantasi dan realitas, seni dan ilmu. Karena alasan ini para teoritisi postmoderen disebut sebagai Bricoleur: seorang yang serba bisa.
Dewasa ini, para teoritisi sering menyampaikan gagasan-gagasan mereka dalam bentuk cerita-cerita. Seminar-seminar sering dipenuhi dengan banyak kisah. Dari kisah-kisah ini lalu ditunjukkan beberapa hal umum. Orang tidak lagi sangat menekankan data, tetapi kisah!
Dalam rangka pembicaraan tentang teori sosial, kita perlu berbicara mengenai hubungan antara poststrukturalisme dengan postmodernisme. Untuk memahami poststrukturalisme kita harus berangkat dari strukturalisme. Paham ini adalah sebuah usaha untuk menemukan struktur umum yang terdapat dalam kehidupan sosial. Penelitian akan struktur banyak digunakan pada para teoritisi sosial modern. Memang yang menjadi inti dari teori sosial adalah menemukan struktur-struktur sosial yang tetap itu. Tetapi dalam strukturalisme kita berhadapan dengan sebuah pergeseran dalam pencarian struktur ini. Orang memberikan perhatian pada struktur bahasa sebagai pintu masuk untuk menganalisis struktur sosial. Ferdinand de Saussure, filsuf bahasa kelahrian Swiss meletakkan dasar untuk sebuah analisis bahasa yang kemudian dikembangkan selanjutnya. Yang dikenal luas sebagai bapak dari strukturalisme adalah Claude Levi-Strauss, antropolog Prancis yang terkenal. Dia melihat fenomen sosial seperti pertalian antarkeluarga sebagai satu sistem komunikasi dan dengan demikian dapat diuji dengan menggunakan analisis struktural. Saling memberi dan menerima suami-istri dianalisis sebagai saling memberi dan menerima kata-kata. Yang penting adalah bahwa bagi strukturalisme sebuah struktur bukanlah sebuah realitas yang langsung tampak dan karenanya langsung dapat diobservasi, tetapi tingkat realitas berada di balik huibungan nyata antarmanusia, dan fungsi hubungan nyata itu merupakan sistem logika yang terletak di bawah. Sebab itu, hanya jika ada tatanan yang terletak lebih rendah, maka tatanan yang nyata dapat dijelaskan (Ritzer, hlm 56). Dengan ini menjadi esensialisme dari strukturalisme.
Poststrukturalisme mengambil jarak terhadap strukturalisme ini, karena poststrukturalisme justru menolak adanya struktur umum yang ada di balik yang nyata. Yang tampak, tanda, adalah kenyataan. Tokoh yang secara eksplisit menyebut diri sebagai poststrukralis adalah Foucault. Kita sulit membedakan postmodernisme dari poststrukturalisme. Pada umumnya orang melihat poststrukturalisme sebagai pelopor intelektual dari postmodernisme. Itulah sebabnya, dalam uraian nanti kita memasukkan poststrukturalis Foucault ke dalam barisan para postmodernis.
Post-Fordisme: dari kerja produksi kepada kerja jasa. Penekanan: bukan banyak produksi, tetapi banyak konsumsi: masyarakat  konsumsi: pentingnya media massa, khususnya televisi, ledakan informasi.



[1] Asal-Usul Postmondernitas, hlm. 37
[2] Asal-Usul Postmodernitas, hlm. 38.
[3] Asal-Usul Postmodernitas, hlm. 21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar