1. Postmodernisme dalam dunia arsitektur
Walaupun direfleksikan secara mendasar dalam dunia sastra, tetapi untuk
publik yang lebih luas postmodernisme sering dikaitkan dengan dunia arsitektur.
Malah bidang ini dilihat sebagai contoh yang paling jelas dari konsep
postmodernisme. Istilah ini sudah mulai digunakan dalam dunia arsitektus sejak
tahun 1949. Namun, yang berarti adalah penggunan istilah ini pada tahun 1972
oleh Robert Venturi, yang bersama beberapa temannya membuat Manifesto
Arsitektur, dalam buku mereka Learning from Las Vegas. Mereka tidak
mempersoalkan moralitas Las Vegas, melainkan bangunannya. Di Las Vegas telah
berkemna sebuah pandangan di kalangan artitek: tidak lagi membangun untuk per
orangan (building for man), melainkan untuk banyak orang (building for men
[markets]).
Kemudian istilah ini digunakan dalam diskusi yang lebih sistematis tentang
arsitektur pada tahun 1975 oleh Charles Jenks. Dia menggunakan pengertian ini
secara positif. Jenks adalah seorang
arsitek dan kritikus arsitektur berkebangsaan Amerika yang pindah ke London.
Jenks menggunakan istilah ini untuk arsitektur dalam artikelnya yang berjudul The Rise of Post-Modern Architecture.
Sejak ini dunia arsitektur menjadi bidang perdebatan hangat antara moderen dan
postmoderen. Kemudian, pad atahun 1977 dia menulis buku: The Language of Postmodern Architecture. Jenks masih sadar
sepenuhnya akan kesan negatif yang dihubungkan dengan istilah ini. Sebab itu,
dia menggunakan juga pengertian eklektisisme radikal untuk jenis arsitektur
ini. Pada pendahuluan buku dibaca kalimat-kalimat ini: “Kesalahan arsitektur
moderen adalah bahwa dia terarah kepada satu kelompok elit. Postmoderen
berusaha melampaui tuntutan elitis ini, tetapi bukan dengan meninggalkannya
sama sekali, melainkan dengan memperluas bahasa arsitektur ke berbagai arah….
Karena ada ada kedifikasi ganda bagi arsitektur, yang menyapa kelompok elite
dan orang-orang biasa”. Menjadi jelas di sini bahwa Jencks menerapkan
keseluruhan pandangan Fiedler dalam bidang sastra untuk arsitektur.
Sebagaimana sastra moderen, arsitektur moderen pun tidak sanggup menyapa
hati dan pikiran para orang kebanyakan. Dia terlampau eliter, intelektual,
terlampau banyak menggunakan baja dan kaca. Ada semacam satu macam arsitektur
universal, semacam pengungkapan satu gagasan pencerahan yang berlaku universal.
Dalam arsitektur semacam ini manusia sebagai kosmopolit dan subjek berbagai
prinsip universal. Arsitektur menjadi uniform. Kantor dan Museum, rumah tinggal
dan rumah ibadat, dibangun dalam gaya yang sama di mana-mana, tanpa banyak
memperhatikan kekhasan setempat.
Berbeda dari arsitektur moderen, postmodernisme ditandai oleh keterarahan
pada pemakai dan pemirsa dan dipahami sebagai bahasa. Untuk masyarakat yang
majemuk seperti yang ada sekarang, sebuah bangunan hanya akan memenuhi tuntutan
ini apabila dia sanggup menghadirkan secara serentak berbagai gaya. Dia mesti
mengkombinasikan beragam bahasa arsitektur, misalnya tradisional dan moderen,
eliter dan popular, internasional dan lokal. Dia merupakan arsitektur yang
berkode ganda, atau malah berkode jamak (double-coding). Arsitektur postmoderen
adalah arsitektur yang polyglot. Arsitektur postmoderen ditandai oleh
kodifikasi ganda dan eklektisisme radikal. Di dalam arsitektur ini orang
menggabungkan yang modern dan historis, citarasa terpelajar dan sensibilitas
populer.[1]
Kita dapat mengatakan bahwa arsitektur moderen ditandai oleh kuatnya peran
fungsi. Arsitektur dibuat untuk memenuhi tuntutan fungsi. Arsitektur
postmoderen sebaliknya ditata untuk memberi tempat bagi fiksi dan imaginasi.
Untuk itu mungkin baik kita perhatikan ciri arsitektur. Arsitektur adalah seni
yang melekat erat pada kehidupan, yang sangat dekat dengan peran untuk
kehidupan. Maka dia sangat ditentukan oleh kegunaan. Dia tidak pernah dapat
hanya memenuhi peran keindahan sebagai satu karya seni. Karena itu dapat
dipahami bahwa dalam kecenderungan moderen orang terlampau menekankan fungsi
sambil mengabaikan fiksi, sehingga yang tersisa dari sebuah bangunan hanyalah teknik
membangun. Tetapi dalam arstektur tidak akan diwarnai oleh bangunan-bangunan
monumental, apabila pembangunnya hanya memperhatikan peran fungsi. Di tengah
kecenderungan fungsionalisme moderen bangunan sebagai satu bentuk ekspresi
seni, sebagai sebuah tempat puitis, tidak mempunyai tempat. Kini ada pembebasan
dari orientasi total pada fungsi ini. Bangunan lalu menjadi karya-karya fiksi
dan estetis, ungkapan seni yang tidak hanya dalam bentuk abstrak, tetapi tampil
sebagai bangunan.
Arsitektur yang polyglot ini memang menyulitkan kesatuan. Sangat sulit menimbulkan
kesan kesatuan di dalam bangunan seperti ini. Sebaliknya, dia akan sangat mudah
melahirkan kesuka-sukaan. Inilah sebabnya, mengapa postmodernisme sangat dekat
dengan tuduhan kesuka-sukaan. Kesuka-sukaan bukanlah tujuan dari arsitektur.
Tetapi bahaya seperti ini memang sulit dihindarkan, tetapi tidak dimaksudkan.
Untuk itu perlu diingat bahwa arsitektur postmoderen hendak menjadi polyglot,
memaparkan banyak bahasa. Bahasa, dan bukannya kata atau penggalan tertentu.
Arsitektur postmoderen dalam arti yang dikehendaki belum terwujud apabila orang
sekedar memaparkan potongan-potongan dari gaya tertentu, tetapi perlu memahami
keseluruhan struktur berpikir dalam gaya itu, sehingga ketika melihat potongan
tertentu, pemirsa dapat menangkap bahasanya. Pada dasarnya inilah yang
membedakan postmodernisme murahan dari postmodernisme dengan sebuah tuntutan.
Masih menurut Jencks, sebenarnya para arsitek posmoderen menghendaki adanya
titik pusat. Mereka mencarinya dan mengira menemukannya dalam gaya klasik yang
dijadikannya model. Tetapi mereka gagal menemukan dan menempatkan titik pusat
itu.
Tanggapan atas pendapat Jenks ini demikian kuat dan meluas, dan kenyataan
ini sangat menentukan dalam penyebarluasan gagasan dan bayangan tentang
postmodernisme. Pada pertengahan tahun 80-an Jenks sudah melihat dengan jelas
ciri masyarakat dan peradaban postmodern, yang sangat majemuk dan toleran, yang
membuat polarisasi tidak masuk akal. Istilah-istilah seperti: sayap kiri dan
sayap kanan, kapitalis dan para pekerja, tidak mempunyai arti lagi.[2]
2. Postmodern dalam Sosiologi
Setelah melihat beberapa fase dalam perkembangan pengertian dan perluasan
serta penerapannya pada beberapa bidang, kita perlu memperhatikan juga
penerapannya pada bidang sosiologi, karena ini akan mengungkapkan sejumlah
fenomen sosial yang menjawab pertanyaan, apakah sungguh ada gejala perilaku
manusia yang mengharuskan lahirkan sebuah aliran pemikiran baru dalam filsafat.
Di sini hanya disebutkan sosiolog yang pada fase yang relatif muda sudah
menggunakan pengertian ini untuk menunjukkan fenomen sosiologis baru. Kemudian
aa banyak sekali ulasan sosiologis tentang fenomen postmodern.
Untuk pertamanya kalinya istilah masyarakat postmoderen digunakan oleh
Amitai Etzioni, seorang filsuf sosial berkebangsaan Yahudi yang tinggal di USA
pada tahun 1968. Etzione menuangkan gagasan sosiologisnya dalam buku The Active Society. Akhir dari
modernitas tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi melalui transformasi.
Transformasi ini bermula setelah Perang Dunia II, “ di mana kekuatan bisnis
besar dan kaum elit yang sudah mapan sedang mengalami kemunduran”.[3] Kemunduran ini serentak memberi ruang
bagi semua lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
berkenaan dengan kehidupan bersama. Dengan ini, periode ini memberikan ruang bagi pelaksanaan demokrasi secara
benar.
Postmodernitas dalam pengertian di atas menjadi mungkin karena adanya
perubahan dalam teknik, yakni teknik komunikasi, informasi dan energi.
Teknologi yang memproduksi dalam bidang-bidang ini menjadi semakin efisien, dan
ini membuka kemungkinan kepada semua warga untuk memperoleh informasi. Tetapi
serentak dengan itu, kemajuan teknologi membahayakan nilai-nilai yang hendak
diwujudkan dalam bidang-bidang ini. Perkembangan dalam produksi teknologi
komunikasi dapat merendahkan kualitas komunikasi itu sendiri. Postmodernitas
dapat ditandai oleh menjadi kian terancamnya nilai-nilai itu karena
perkembangan teknologi, atau pemulihan kembali prioritas nilai-nilai ini di
hadapan teknologi. Di sini masyarakat seluruhnya dihaapkan pada pilihan yang
menentukan. Opsi yang dipilih akan menjamin, entahkah masyarakat akan menjadi
hamba atau tuan atas instrumen-instrumen ciptaannya. Etzioni sendiri
mengimpikan bahwa masyarakat postmodern akan menjadi masyarakat yang menjadi
tuan atas teknologi, yang menempatkan teknik sebagai sarana yang dibutuhkan dan
dipakai serta dikuasainya. Masyarakat seperti ini adalah sebuah masyarakat
aktif.
Sebenarnya dalam sosiologi pengertian yang lebih
dulu lazim dipakai bukanlah postmodern melainkan postindustri. Pengertian ini dirangkaikan dengan nama David Riesman yang memakai istilah untuk
pertama kalinya pada tahun 1958. Istilah ini menjadi luas dikenal berkat karya Daniell Bell, seorang sosiolog Amerika
lainnya sejak tahun 1973.
Kedua pengertian ini menunjukkan konsep dan opsi
yang sama. Keduanya berangkat dari pandangan akan perubahan dalam teknik.
Masyarakat postindustri dan postmodern ditandai oleh intenfisikasi peran
teknologi. Masyarakat ini dijiwai oleh persenyawaan antara pengetahuan dan
teknologi serta perencanaan dan pengaturan perkembangan sosial. Masyarakat
postindustri dan postmoderen adalah masyarakat yang menggunakan sarana industri
secara lebih efisien.
Kendati demikian, ada sedikit perbedaan penekanan
pada kedua pemikir ini, Bell dan Etzioni. Kalau Etzioni memilih masyarakat
aktif sebagai masyarakat yang menjadi tuan atas sarana teknis, maka Bell
mengimpikan sebuah masyarakat postindustri ditandai oleh proses teknologisasi.
Dalam konsep postindustri satu tipe rationalitas, yakni rationalitas teknis,
dilihat sebagai satu-satunya rationalitas. Tetapi Bell sendiri meragukan
entahkah manusia dapat hidup dan bertahan dalam masyarakat seperti ini.
Apabila masyarakat postindustri menekankan
radikalisasi industri dengan rasionalitas teknisnya, maka masyarakat
postmodernis ditandai oleh kesadaran dan keyakinan bahwa permasalahan manusia
dan peradaban tidak dapat dipecahkan dengan hanya mengandalkan satu tipe
rasionalitas. Juga rasionalitas industri tidak lagi menjadi resep tunggal yang
dapat menjawabi kebutuhan hidup manusia. “Tidak ada rasionalitas tunggal yang
dapat mendapat menjawab berbagai persoalan” (Ritzer, 15).
Walaupun baru hanya berkenalan secara sepintas
dengan kedua teori sosial masyarakat postmodern, kita dapat membuat satu
perbandingan sederhana antara teori-teori sosial modern dengan teori-teori
sosial postmodern. Dari perbandingan ini kita dapat mengatakan bahwa
teori-teori sosial modern cenderung menjadi absolut, rasional dan menerima
posibilitas kebenaran. Teori Karl Marx, Max Weber atau Emilie Durkheim adalah
contoh teori sosial modern. Sebaliknya teori sosial postmodern cenderung
menjadi relativistik dan membuka kemungkinan irrasionalitas. Disebutkan empat
kelemahan dasar dari teori sosial modern yang menjadikannya mudah digoyahkan
oleh teori sosial postmodern (Ritzer, hlm. 23-24).
Pertama, kecenderungan
saintisme. Maksudnya, teori-teori sosial dibangun dengan konsep seperti ilmu
eksakta, seolah peri laku sosial berlangsung menurut hukum-hukum seperti hukum alam.
Ilmu sosial seperti ini dijiwai oleh gagasan dasar bahwa ada satu struktur yang
sama yang menjadi basis dari semua masyarakat. Ada ide universal dan
hukum-hukum sosial yang sama di dalam semua masyarakat. Kenyataan sering
menunjukkan adanya perbedaan yang tajam dalam masyarakat-masyarakat.
Kedua, teori sosial modern
dikerjakan sebagai satu bentuk fundasionalisme. Maksudnya, teori sosial
mendasarkan diri dalam prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan filosofis yang kuat,
yang dapat menjadi ideologi yang menjiwai satu gerakan perubahan. Tujuan ilmu
sosial modern adalah membongkar logika masyarakat dan menemukan kebenaran yang
mencerminkan dunia sosial. Dengan ini para teoritisi sosial beranggapan bahwa
mereka sanggup dan harus sanggup membangun konsep yang menjadi dasar tunggal
bagi semua penjelasan tentang fenomen sosial. Tetapi dalam kenyataan orang
harus melihat perbedaan antara cara penerapan ilmu yang diharapkan dan cara
yang sebenarnya berfungsi.
Ketiga, teori-teori sosial
modern memiliki kecenderungan totalisasi pandangan hidup. Maksudnya adalah
bahwa apa yang dikonsepkan dapat diterapkan dan dibenarkan kapan dan di mana
saja. Konsep-konsep dasar itu misalnya industrialisasi, modernisasi,
sekularisasi atau demokrasi. Teori-teori sosial modern berusaha menerapkan
gagasan-gagasan world view ini pada
semua masyarakat. Dengan kecenderungan seperti ini teori-teori sosial modern
mengabaikan multisisi, heterogenitas, kekacauan sosial yang terdapat di dalam
banyak masyarakat. Selain itu mereka mentransfer apa yang dipikirkan dan
terjadi dalam masyarakat Eropa ke berbagai masyarakat lain dan berpendapat
bahwa di sana pun terjadi proses sosial yang sama. Dengan ini menjadi semakin
jelas pula bagi banyak pihak bahwa teori sosial yang diciptakan itu sanbat
responsif pada kebutuhan kekuasaan dan cenderung mendukung posisi mereka di
tengah masyarakat.
Keempat, teori sosial modern
cenderung bersifat esensialis, artinya melihat manusia sebagai orang yang
memiliki karakteristik dasar, rapi dan tidak berubah. Mereka berbicara tentang
manusia dan memandang kondisi sosial sebagai ekspresi dari manusia ideal itu.
Sebab itu teori-teori ini dipandang gagal memperhatikan manusia berdasarkan
orientasi gender, ras, etnisitas, kelas atau orientasi seksual.
Teori sosial postmodern dilihat sebagai reaksi
atas teori-teori sosial modern sebagaimana dilukiskan di atas. Tetapi tentu ada
keberagaman dalam teori sosial postmodern, sebagaimana dikehendaki oleh intensi
dasarnya yang menggarisbawahi pluralitas. Dewasa ini tampak jelas bahwa ilmu-ilmu
sosial jauh berkembang di negara-negara Asia dan Amerika Latin daripada Eropa
dan Amerika Utara.
Kita dapat menemukan tiga posisi utama dalam teori
sosial postmodern. Pertama postmodernisme ekstrim, yang berpendapat bahwa telah
terjadi satu kesenjangan besar dan radikal dari masyarakat modern ke masyarakat
postmodern. Posisi kedua adalah posisi yang moderat, yang berpendapat bahwa
selain terdapat sejumlah perbedaan, postmodernitas menunjukkan pula kesamaan
dengan modernitas dan karena melanjutkan modernitas. Masyarakat postmodern
adalah masyarakat yang berada pada tahap lanjut dari masyarakat modern. Posisi
ketiga memandang masyarakat postmodern sebagai satu alternatif terhadap
masyarakat modern. Masyarakat postmodern muncul sebagai kritik dan berada
berdampingan dengan masyarakat modern.
Hemat saya, kita dapat berpegang pada pandangan
itu, bahwa teori sosial postmodern memandang masyarakat postmodern sebagai
„kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya“.
Masyarakat postmodern mempertanyakan segala sesuatu yang diasosiasikan dengan
modernitas, seperti industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, paham
negara-bangsa, percepatan kemajuan dalam tempo tinggi. Teori sosial postmodern
memandang masyarakat postmodern sebagai masyarakat yang menolak metanarasi,
totalitas dan universalitas. Sebaliknya, mereka menekankan narasi lokal. Dengan
penekanan pada narasi lokal ini, teoritisi postmodern menjadi
„pendongeng-pendongeng“. Dengan demikian tidak ada lagi batasan antara teoritisi dan mayarakat biasa.
Selain itu, sebagai konsekuensi dari kritik atas modernitas, mereka cenderung
mengimpikan fenomena-fenomena pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi,
magis, mitos, pengalaman mistik. Selanjutnya, masyarakat postmodernis dielihat
tidak lagi berpegang pada batasan-batasan yang kaku antara berbagai disiplin
ilmu dan bidang kehidupan. Apa yang dibatasi secara tegas dalam masyarakat
modern diangkat. Batasan menjadi mengalir: fiksi dan teori, fantasi dan
realitas, seni dan ilmu. Karena alasan ini para teoritisi postmoderen disebut
sebagai Bricoleur: seorang yang serba bisa.
Dewasa ini, para teoritisi sering menyampaikan
gagasan-gagasan mereka dalam bentuk cerita-cerita. Seminar-seminar sering
dipenuhi dengan banyak kisah. Dari kisah-kisah ini lalu ditunjukkan beberapa
hal umum. Orang tidak lagi sangat menekankan data, tetapi kisah!
Dalam rangka pembicaraan tentang teori sosial,
kita perlu berbicara mengenai hubungan antara poststrukturalisme dengan
postmodernisme. Untuk memahami poststrukturalisme kita harus berangkat dari
strukturalisme. Paham ini adalah sebuah usaha untuk menemukan struktur umum
yang terdapat dalam kehidupan sosial. Penelitian akan struktur banyak digunakan
pada para teoritisi sosial modern. Memang yang menjadi inti dari teori sosial
adalah menemukan struktur-struktur sosial yang tetap itu. Tetapi dalam
strukturalisme kita berhadapan dengan sebuah pergeseran dalam pencarian
struktur ini. Orang memberikan perhatian pada struktur bahasa sebagai pintu
masuk untuk menganalisis struktur sosial. Ferdinand de Saussure, filsuf bahasa
kelahrian Swiss meletakkan dasar untuk sebuah analisis bahasa yang kemudian
dikembangkan selanjutnya. Yang dikenal luas sebagai bapak dari strukturalisme
adalah Claude Levi-Strauss, antropolog Prancis yang terkenal. Dia melihat
fenomen sosial seperti pertalian antarkeluarga sebagai satu sistem komunikasi
dan dengan demikian dapat diuji dengan menggunakan analisis struktural. Saling
memberi dan menerima suami-istri dianalisis sebagai saling memberi dan menerima
kata-kata. Yang penting adalah bahwa bagi strukturalisme sebuah struktur
bukanlah sebuah realitas yang langsung tampak dan karenanya langsung dapat
diobservasi, tetapi tingkat realitas berada di balik huibungan nyata
antarmanusia, dan fungsi hubungan nyata itu merupakan sistem logika yang
terletak di bawah. Sebab itu, hanya jika ada tatanan yang terletak lebih
rendah, maka tatanan yang nyata dapat dijelaskan (Ritzer, hlm 56). Dengan ini
menjadi esensialisme dari strukturalisme.
Poststrukturalisme mengambil jarak terhadap
strukturalisme ini, karena poststrukturalisme justru menolak adanya struktur
umum yang ada di balik yang nyata. Yang tampak, tanda, adalah kenyataan. Tokoh
yang secara eksplisit menyebut diri sebagai poststrukralis adalah Foucault.
Kita sulit membedakan postmodernisme dari poststrukturalisme. Pada umumnya
orang melihat poststrukturalisme sebagai pelopor intelektual dari
postmodernisme. Itulah sebabnya, dalam uraian nanti kita memasukkan
poststrukturalis Foucault ke dalam barisan para postmodernis.
Post-Fordisme: dari kerja produksi kepada kerja
jasa. Penekanan: bukan banyak produksi, tetapi banyak konsumsi: masyarakat konsumsi: pentingnya media massa, khususnya
televisi, ledakan informasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar