Sebenarnya ada empat tempat dan waktu kelahiran pengertian ini. Namun kali
pertama sampai kali ketiga kelahiran itu tidak membawa dampak yang besar dan
karena itu bayi yang dilahirkan juga tidak menggemparkan. Baru pada kelahiran
keempat terjadi tanggapan yang luas dan menjadi awal sejarah yang panjang.
Yang pertama terjadi pada tahun
1870, saat John Watkins Chapmann, seorang pelukis berkebangsaan Inggris, berbicara
tentang niatnya bersama teman-temannya untuk memulai sebuah gaya pelukisan
postmoderen. Maksudnya waktu itu adalah gaya pelukisan yang lebih modern dari
gaya yang waktu itu sangat dominan, yakni Impresionisme Prancis. Kenyataan,
kelahiran ini pertama ini tidak mendapat sambutan sejarah.
Kali kedua pengertian ini,
sebagai kata sifat, muncul pada tahun 1917 oleh Rudolf Pannwitz. Dalam bukunya
Krisis Kebudayaan Eropa dia berbicara tentang manusia postmoderen. Latar
belakangnya, Pannwitz melukiskan dekadensi kebudayaan Eropa yang dipilari oleh
manusia-manusia yang memiliki banyak kelemahan. Gaya pelukisannya mencontohi
gaya Nietzsche. Demikian puna terapi yang ditawarkannya pun bergaya Nietzsche:
maka manusia postmoderen ini tidak lain adalah manusia super (Uebermensch).
Menarik di sini untuk perkembangan selanjutnya adalah bahwa sudah di sini
Nietzsche dilihat sebagai bapa dari kritik terhadap modernitas.
Pada tahun 1934 pengertian ini digunakan lagi oleh Federico de Onis,
seorang ilmuwan sastra berkebangsaan Spanyol. Dia menggunakan pengertian postmodernismo untuk menunjukkan satu
periode singkat dalam sejarah sastra Spanyol, yakni antara tahun 1905 sampai
1914. Sebelumnya, dari tahun 1896-1905 adalah periode modernisme, dan
sesudahnya, dari tahun 1914-1932 adalah periode ultramodernismo. Yang menjadi
ciri khas era postmodernisme menurut de Onis adalah mengalirnya kembali yang
konservatif dalam modernisme.
Kelahiran keempat terjadi pada
tahun 1947 dalam bukunya A Study of
History Jilid VIII karya Arnold Toynbee.
Postmodernisme adalah fase terkini dari sejarah peradaban Eropa, yang dimulai
pada tahun 1875 sebagai awal dari peralihan dari sebuah politik yang terpusat
pada kebangsaan kepada pemikiran politis yang berorientasi pada interaksi
internasional. Era postmodern adalah era postkolonialisme, yang ditandai oleh
kelahiran para intelektual di luar dunia barat yang kemudian menentang barat.
Toynbee merefleksikan Meiji di Jepang, Bolshevik di Rusia, Kemalis di Turki dan
Maois di Cina.
Pengertian ini kemudian digunakan secara lebih konsisten di dalam dunia
sastra. Bermula dengan surat Charles Olson, seorang politisi USA yang kemudian
mengalihkan profesinya ke dunia sastra. Olson menggunakan pengertian ini pada
tahun 1951 yang berbicara tentang dunia postmodern yang terhampar melampaui era
imperial, penemuan dan revolusi industri. Era ini disebut serentak sebagai
postmodern, posthumanis, posthistoris. Olson banyak menulis puisi. Salah
satunya berjudul The Kingsfisher dengan kalimat yang terkenal itu: Apa yang tidak
berubah, adalah kehendak untuk berubah: „What does not change is the will to
change“[1].
Kelahiran ini kemudian diambilalih oleh Irving Howe pada tahun 1959 dalam
artikelnya berjudul „Mass Society and Post-Modern Fiction“ dalam Partisan Review, untuk sebuah penggunaan
dalam bidang sastra, dengan pengertian yang sangat lain. Dengan ini
postmodernisme sebagai pengertian mulai banyak dikenal dan menyulut diskusi
yang panjang, karena dia mengkapkan isi tertentu yang menjadi pengalaman banyak
orang.
Irving Howe menggunakan istilah postmodernisme untuk mengungkapkan
kecenderungan dalam sastra yang berbeda dari sastra sebelumnya. Howe memahami
postmodernisme sebagai gaya dan aliran yang kurang modern. Apabila dunia sastra
sebelumnya diwarnai oleh daya gugah yang tinggi, mengandung idealisme yang
luhur dan penuh daya cipta dan kreativitas, maka sastra post-moderen ditandai
oleh ketiadaan semuanya itu. Modernitas dalam sastra adalah inovasi yang
terungkap dalam penggunaan bahasa yang sungguh kreatif, tercermin dalam
penangkatan teman-teman kemanusiaan yang universal dan karena itu bernilai dan
mempunyai gema internasional. Sastra post-moderen, demikian Howe, adalah sastra
yang lesu dari gagasan-gagasan besar, sastra tanpa semangat untuk mengubah
sesuatu, sastra yang lebih deskriptif dan repetitif. Sastra moderen dalam
lingkup bahasa Inggris: James Joice, seorang Irlandia yang mantan katolik,
hijrah ke Prancis dan Swiss.
Sastra jenis ini adalah hasil karya sebuah masyarakat yang sudah menjadi
massa. Masyarakat jenis ini, menurut Howe, adalah masyarakat yang tidak jelas
orientasi kelasnya. Karena adanya boom kesejahteraan setelah Perang Dunia II,
maka pembedaan di dalam masyarakat sudah tidak jelas lagi. Masyarakat sudah
kehilangan ideologi, dan dengan demikian menghasilkan karya sastra tanpa nafas
perjuangan. Karya sastra yang dihasilkan ini adalah tanda keterlibatan baru
antara seniman dan kaum borjuis, adalah perpaduan antara budaya dan
perdagangan.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa istilah ini pada awalnya dimaksudkan
sebagai ungkapan negatif terhadap kenyataan yang ada. Namun Howe sama sekali
tidak bermaksud membuat sebuah kritik total. Dia menunjukkan “pengertian”
terhadap kenyataan ini, karena memang wajar dan alamiah apabila menyusuli
sebuah fase yang ditandai oleh kreativitas dan inovasi, datang sebuah era yang
tidak mampu berbuat banyak menandingi prestasi ini. Seperti sangat sulit
mempunyai profil sendiri yang menonjol apabila kita meneruskan sebuah tugas
yang dijalankan oleh seseorang yang sangat cemerlang dan berprestasi, demikian
pun untuk satu kelompok masyarakat dalam satu era sulit untuk menawarkan
sesuatu yang menonjol setelah ada sekian banyak karya berskala prasasti.
(Pengalaman di Austria: di bawah gedung-gedung yang indah dari zaman dulu:
manusia zaman ini merasa diri kecil, tak berdaya).
Namun sudah pada awal tahun 60-an muncul sebuah penilaian baru terhadap
kecenderungan yang disebut sebagai postmodernisme itu. Leslie Fiedler dan Susan
Sontag mulai melihat dan mengangkat nilai khas yang terungkap di dalam
sastra post-moderen itu. Postmodernisme bukanlah sebuah dekadensi yang mesti
ditolak, melainkan sebuah gaya yang inovatif. Asosiasi negatif dan pesismistis
mulai ditinggalkan. Sastra jenis ini adalah produk kaum muda yang miskin
tantangan, yang terputus dari perjuangan sejarah yang bersifat nasionalis, yang
punya banyak impian, yang ditimbuni banyak kemudahan dan hal-hal sipil. Di
dalam dunia yang semakin bebas seperti, sastra yang dihasilkan pun mestinya
berbeda. Hal ini bukanlah sebuah dekadensi.
Nilai sastra postmodern terletak dalam kesanggupan mereka untuk menjadi
penghubung antara yang elite dan massa. Sastra moderen memang cenderung
bersifat eliter, sastra untuk kelas masyarakat tertentu, masyarakat terdidik
dan berpenghasilan, sastra dengan asosiasi kelas menengah, dengan standard
moralitas tertentu. Bahasa dan kodeks moral yang dipakai sebagai orientasi
adalah bahasa dan kodeks moral para intelektual yang dibakukan secara ketat.
Berbeda dengan ini, sastra post-moderne adalah sastra untuk orang kebanyakan
juga, yakni sastra yang berbicara dalam bahasa mereka, yang menggunakan katalog
nilai mereka. Orang kebanyakan dalam konteks Eropa dan Amerika adalah para
buruh. Yang dilihat sebagai salah satu contoh nilai yang sesuai dengan kodeks
moral orang kebanyakan itu adalah soal seks. Kalau sastra moderen berbicara
tentang seks dalam bahasa yang sangat sopan dan cenderung membungkus, maka
sastra postmoderen berbicara terang-terangan tentang seks.
Gaya sastra ini akan melintasi kelas-kelas masyarakat dan mencampuradukkan
berbagai aliran sastra, meninggalkan kesungguhan dan ironi modernisme. Didalam
gaya sastra ini kita menemukan kembali hidupnya dunia yang irasional, yang
ditempatkan di samping pengetahuan tentang teknologi yang tinggi.
Boleh jadi karena itu, uraian Fiedler tentang sastra post-moderen dalam
sebuah artikel berjudul Cross the Border – Close the Gap (Melintasi Batas –
Menutupi Lembah) diterbitkan untuk pertama kalinya dalam majalah Playboy dalam
bulan Desember 1969. Moto kecenderungan sastra ini adalah: melintasi batas.
Saya kutip beberapa kalimat dari artikel tersebut: “Jenis sastra yang mengklaim
istilah ‘moderen’ untuk dirinya (yang mengira bahwa dia mewakili kemungkinan
perkembangan paling jauh dari peradaban dan bahwa setelah itu tidak mungkin ada
lagi yang baru), yang masa keemasannya mulai beberapa tahun sebelum perang
dunia pertama sampai beberapa tahun sesudah perang kedua, sudah mati. Sastra
model ini sudah tidak ada lagi, adalah bagian dari sejarah, bukan masa kini”.
Selanjutnya ditulis: “Pandangan tentang kesenian untuk ‘orang-orang terdidik
dan ada sub-kesenian untuk orang-orang ‘tak terdidik’ merupakan sisa dari
sebuah pembedaan yang sangat memalukan di dalam sebuah masyarakat industri. Dan
pembedaan model ini hanya mungkin dalam sebuah masyarakat kelas.”
Post-moderen hendak mengatasi semua pembedaan ini. Sastra post-moderen
diarahkan kepada satu publikum yang
massal. Sastra post-moderen menutupi jurang antara kritikus sastra dan
publikum. Kritikus sastra bukan lagi guru yang penilaiannya akan menentukan
kadar penerimaan sebuah karya sastra. Juga sastra post-moderen menutupi jurang
antara seniman dan publikum. Selera seni massa menjadi bagian yang semakin
penting bagi seniman, bukan karena persoalan keuangan, tetapi karena nilai yang
semakin besar diberikan kepada publikum. Publikum yang telah jenuh dengan
ide-ide dan ideal-ideal besar dan rumit, yang dihimpit dunia industri dan
mesin, kini lebih membutuhkan kisah-kisah yang irasional tentang roh dan arwah,
tentang keanehan-keanehan alam dan pengalaman manusia.
Fiedler memberikan ciri sastrawan post-moderen sebagai sastrawan yang
berpijak di dua dunia: dunia teknik dan dunia keanehan, dunia rasional dan
dunia mithos, dunia yang santun dan dunia erotik. Yang penting adalah bahwa sastra
post-moderen ini tidak meniadakan yang satu atas ongkos yang lain, tetapi dia
menjembatani. Yang ada di sana adalah pluralitas paham dan bahasa. Orang tidak
menawarkan satu nilai, tetapi sejumlah nilai dan konsep ditawarkan secara
serentak. Salah satu contoh yang bisa diangkat adalah roman besar karya
sastrawan Italia Umberto Eco, yang pernah disebutkan kali lalu. Eco menyebut
roman ini secara eksplisit sebagai roman postmoderen. Di dalam roman ini
dibicarakan tentang kemungkinan menemukan sebuah buku tentang tertawa karya
Aristoteles. Ada berita bahwa Aristoteles pernah membahas masalah tertawa dan
menilainya sebagai sesuatu yang tinggi. Buku itu ternyata ada dan disimpan
secara sangat rahasia oleh seorang rahib benediktin yagn sangat tua di sebuah biara.
Setiap orang yang tampaknya mencurigakan, akan mati secara misterius di dalam
biara itu. Karena beberapa peristiwa kematian yang meninggalkan tanda tanya
besar itu, maka diutus seorang fransiskan untuk membuat penelitian di sana.
Hasil penelitiannya akan mempengaruhi inquisitio. Biarawan fransiskan datang ke
sana bersama seorang novisnya, yang kemudian bersahabat intim dengan seorang
gadis yang datang mengais makanan di tempat sampah biara itu. Ketika sedang
berhubungan seks, obor yang dibawa gadis itu menyulut gandung kering yang tak
jauh dari sana. Terjadilah kebakaran yang hebat. Seluruh biara itu hancur
dilalap api. Namun ada seorang bruder yang mengintip hubungan kedua orang muda
ini. Dalam sebuah proses yang akhirnya dijatuhi hukuman mati adalah gadis itu
dan bruder. Eco menempatkan secara paralel dan cemerlang intelektualitas dan
kenikmatan, askese dan seks, abad pertengahan dan zaman sekarang, esktase
mistis dan analisis kiriminal. Roman ini memberikan banyak kemungkinan untuk
lompat pagar, dia membuka banyak cela supaya orang berkelana dengan gagasan dan
perasaannya sendiri.
Dengan ini pengertian post-moderne di dalam sastra mencapai sebuah
kejelasan. Dia tidak lagi merupakan satu ungkapan keputusasaan, tetapi sebuah
gaya baru yang merangkul di dalam dirinya berbagai gaya. Di mana ada pluralitas
gaya di dalam satu karya, di sana orang berbicara tentang post-modernisme. Ini
bukan sesuatu yang negatif, tetapi sesuatu yang positif, sebab dia sanggup
menawarkan sesuatu secara serentak untuk berbagai kelas masyarakat dan konsep
moral dalam satu karya. Untuk musik ada beberapa contoh bisa disebutkan:
beberapa tahun lalu ada sebuah kaset yang sangat laris buatan sebuah perusahaan
musik Jepang. Musik itu warna dasarnya diambil dari musik gregorian sebagaimana
dinyanyikan di dalam sebuah biara benediktin di Spanyol Selatan. Tetapi ada
dentuman dentuman-dentuman bas yang berat yang adalah bagian sebuah musik
metallic. Selera orang yang sering menyebut diri sebagai “orang berbudaya”
disejajarkan dengan selera anak muda dalam disko-disko. Gaya yang sama
ditawarkan dari Vatikan! Menjelang tahun 2000 diedarkan sebuah CD berisi
beberapa lagu yang dinyanyikan Paus tetapi dengan iringan musik untuk disko.
Yang terakhir ini ternyata bukan merupakan contoh yang baik, sebab penyejajaran
kurang klop. Masih ada jarak yang agaknya tak terlompati antara suara berat dan
cenderung fals dari seorang Paus dan irama musiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar