Minggu, 05 Mei 2013

Postmodernisme dalam Sastra




Sebenarnya ada empat tempat dan waktu kelahiran pengertian ini. Namun kali pertama sampai kali ketiga kelahiran itu tidak membawa dampak yang besar dan karena itu bayi yang dilahirkan juga tidak menggemparkan. Baru pada kelahiran keempat terjadi tanggapan yang luas dan menjadi awal sejarah yang panjang.
Yang pertama terjadi pada tahun 1870, saat John Watkins Chapmann, seorang pelukis berkebangsaan Inggris, berbicara tentang niatnya bersama teman-temannya untuk memulai sebuah gaya pelukisan postmoderen. Maksudnya waktu itu adalah gaya pelukisan yang lebih modern dari gaya yang waktu itu sangat dominan, yakni Impresionisme Prancis. Kenyataan, kelahiran ini pertama ini tidak mendapat sambutan sejarah.
Kali kedua pengertian ini, sebagai kata sifat, muncul pada tahun 1917 oleh Rudolf Pannwitz. Dalam bukunya Krisis Kebudayaan Eropa dia berbicara tentang manusia postmoderen. Latar belakangnya, Pannwitz melukiskan dekadensi kebudayaan Eropa yang dipilari oleh manusia-manusia yang memiliki banyak kelemahan. Gaya pelukisannya mencontohi gaya Nietzsche. Demikian puna terapi yang ditawarkannya pun bergaya Nietzsche: maka manusia postmoderen ini tidak lain adalah manusia super (Uebermensch). Menarik di sini untuk perkembangan selanjutnya adalah bahwa sudah di sini Nietzsche dilihat sebagai bapa dari kritik terhadap modernitas.
Pada tahun 1934 pengertian ini digunakan lagi oleh Federico de Onis, seorang ilmuwan sastra berkebangsaan Spanyol. Dia menggunakan pengertian postmodernismo untuk menunjukkan satu periode singkat dalam sejarah sastra Spanyol, yakni antara tahun 1905 sampai 1914. Sebelumnya, dari tahun 1896-1905 adalah periode modernisme, dan sesudahnya, dari tahun 1914-1932 adalah periode ultramodernismo. Yang menjadi ciri khas era postmodernisme menurut de Onis adalah mengalirnya kembali yang konservatif dalam modernisme.
Kelahiran keempat terjadi pada tahun 1947 dalam bukunya A Study of History Jilid VIII karya Arnold Toynbee. Postmodernisme adalah fase terkini dari sejarah peradaban Eropa, yang dimulai pada tahun 1875 sebagai awal dari peralihan dari sebuah politik yang terpusat pada kebangsaan kepada pemikiran politis yang berorientasi pada interaksi internasional. Era postmodern adalah era postkolonialisme, yang ditandai oleh kelahiran para intelektual di luar dunia barat yang kemudian menentang barat. Toynbee merefleksikan Meiji di Jepang, Bolshevik di Rusia, Kemalis di Turki dan Maois di Cina.
Pengertian ini kemudian digunakan secara lebih konsisten di dalam dunia sastra. Bermula dengan surat Charles Olson, seorang politisi USA yang kemudian mengalihkan profesinya ke dunia sastra. Olson menggunakan pengertian ini pada tahun 1951 yang berbicara tentang dunia postmodern yang terhampar melampaui era imperial, penemuan dan revolusi industri. Era ini disebut serentak sebagai postmodern, posthumanis, posthistoris. Olson banyak menulis puisi. Salah satunya berjudul The Kingsfisher dengan kalimat yang terkenal itu: Apa yang tidak berubah, adalah kehendak untuk berubah: „What does not change is the will to change“[1].
Kelahiran ini kemudian diambilalih oleh Irving Howe pada tahun 1959 dalam artikelnya berjudul „Mass Society and Post-Modern Fiction“ dalam Partisan Review, untuk sebuah penggunaan dalam bidang sastra, dengan pengertian yang sangat lain. Dengan ini postmodernisme sebagai pengertian mulai banyak dikenal dan menyulut diskusi yang panjang, karena dia mengkapkan isi tertentu yang menjadi pengalaman banyak orang.
Irving Howe menggunakan istilah postmodernisme untuk mengungkapkan kecenderungan dalam sastra yang berbeda dari sastra sebelumnya. Howe memahami postmodernisme sebagai gaya dan aliran yang kurang modern. Apabila dunia sastra sebelumnya diwarnai oleh daya gugah yang tinggi, mengandung idealisme yang luhur dan penuh daya cipta dan kreativitas, maka sastra post-moderen ditandai oleh ketiadaan semuanya itu. Modernitas dalam sastra adalah inovasi yang terungkap dalam penggunaan bahasa yang sungguh kreatif, tercermin dalam penangkatan teman-teman kemanusiaan yang universal dan karena itu bernilai dan mempunyai gema internasional. Sastra post-moderen, demikian Howe, adalah sastra yang lesu dari gagasan-gagasan besar, sastra tanpa semangat untuk mengubah sesuatu, sastra yang lebih deskriptif dan repetitif. Sastra moderen dalam lingkup bahasa Inggris: James Joice, seorang Irlandia yang mantan katolik, hijrah ke Prancis dan Swiss.
Sastra jenis ini adalah hasil karya sebuah masyarakat yang sudah menjadi massa. Masyarakat jenis ini, menurut Howe, adalah masyarakat yang tidak jelas orientasi kelasnya. Karena adanya boom kesejahteraan setelah Perang Dunia II, maka pembedaan di dalam masyarakat sudah tidak jelas lagi. Masyarakat sudah kehilangan ideologi, dan dengan demikian menghasilkan karya sastra tanpa nafas perjuangan. Karya sastra yang dihasilkan ini adalah tanda keterlibatan baru antara seniman dan kaum borjuis, adalah perpaduan antara budaya dan perdagangan.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa istilah ini pada awalnya dimaksudkan sebagai ungkapan negatif terhadap kenyataan yang ada. Namun Howe sama sekali tidak bermaksud membuat sebuah kritik total. Dia menunjukkan “pengertian” terhadap kenyataan ini, karena memang wajar dan alamiah apabila menyusuli sebuah fase yang ditandai oleh kreativitas dan inovasi, datang sebuah era yang tidak mampu berbuat banyak menandingi prestasi ini. Seperti sangat sulit mempunyai profil sendiri yang menonjol apabila kita meneruskan sebuah tugas yang dijalankan oleh seseorang yang sangat cemerlang dan berprestasi, demikian pun untuk satu kelompok masyarakat dalam satu era sulit untuk menawarkan sesuatu yang menonjol setelah ada sekian banyak karya berskala prasasti. (Pengalaman di Austria: di bawah gedung-gedung yang indah dari zaman dulu: manusia zaman ini merasa diri kecil, tak berdaya).
Namun sudah pada awal tahun 60-an muncul sebuah penilaian baru terhadap kecenderungan yang disebut sebagai postmodernisme itu. Leslie Fiedler dan Susan Sontag mulai melihat dan mengangkat nilai khas yang terungkap di dalam sastra post-moderen itu. Postmodernisme bukanlah sebuah dekadensi yang mesti ditolak, melainkan sebuah gaya yang inovatif. Asosiasi negatif dan pesismistis mulai ditinggalkan. Sastra jenis ini adalah produk kaum muda yang miskin tantangan, yang terputus dari perjuangan sejarah yang bersifat nasionalis, yang punya banyak impian, yang ditimbuni banyak kemudahan dan hal-hal sipil. Di dalam dunia yang semakin bebas seperti, sastra yang dihasilkan pun mestinya berbeda. Hal ini bukanlah sebuah dekadensi.
Nilai sastra postmodern terletak dalam kesanggupan mereka untuk menjadi penghubung antara yang elite dan massa. Sastra moderen memang cenderung bersifat eliter, sastra untuk kelas masyarakat tertentu, masyarakat terdidik dan berpenghasilan, sastra dengan asosiasi kelas menengah, dengan standard moralitas tertentu. Bahasa dan kodeks moral yang dipakai sebagai orientasi adalah bahasa dan kodeks moral para intelektual yang dibakukan secara ketat. Berbeda dengan ini, sastra post-moderne adalah sastra untuk orang kebanyakan juga, yakni sastra yang berbicara dalam bahasa mereka, yang menggunakan katalog nilai mereka. Orang kebanyakan dalam konteks Eropa dan Amerika adalah para buruh. Yang dilihat sebagai salah satu contoh nilai yang sesuai dengan kodeks moral orang kebanyakan itu adalah soal seks. Kalau sastra moderen berbicara tentang seks dalam bahasa yang sangat sopan dan cenderung membungkus, maka sastra postmoderen berbicara terang-terangan tentang seks.
Gaya sastra ini akan melintasi kelas-kelas masyarakat dan mencampuradukkan berbagai aliran sastra, meninggalkan kesungguhan dan ironi modernisme. Didalam gaya sastra ini kita menemukan kembali hidupnya dunia yang irasional, yang ditempatkan di samping pengetahuan tentang teknologi yang tinggi.
Boleh jadi karena itu, uraian Fiedler tentang sastra post-moderen dalam sebuah artikel berjudul Cross the Border – Close the Gap (Melintasi Batas – Menutupi Lembah) diterbitkan untuk pertama kalinya dalam majalah Playboy dalam bulan Desember 1969. Moto kecenderungan sastra ini adalah: melintasi batas. Saya kutip beberapa kalimat dari artikel tersebut: “Jenis sastra yang mengklaim istilah ‘moderen’ untuk dirinya (yang mengira bahwa dia mewakili kemungkinan perkembangan paling jauh dari peradaban dan bahwa setelah itu tidak mungkin ada lagi yang baru), yang masa keemasannya mulai beberapa tahun sebelum perang dunia pertama sampai beberapa tahun sesudah perang kedua, sudah mati. Sastra model ini sudah tidak ada lagi, adalah bagian dari sejarah, bukan masa kini”. Selanjutnya ditulis: “Pandangan tentang kesenian untuk ‘orang-orang terdidik dan ada sub-kesenian untuk orang-orang ‘tak terdidik’ merupakan sisa dari sebuah pembedaan yang sangat memalukan di dalam sebuah masyarakat industri. Dan pembedaan model ini hanya mungkin dalam sebuah masyarakat kelas.”
Post-moderen hendak mengatasi semua pembedaan ini. Sastra post-moderen diarahkan kepada satu  publikum yang massal. Sastra post-moderen menutupi jurang antara kritikus sastra dan publikum. Kritikus sastra bukan lagi guru yang penilaiannya akan menentukan kadar penerimaan sebuah karya sastra. Juga sastra post-moderen menutupi jurang antara seniman dan publikum. Selera seni massa menjadi bagian yang semakin penting bagi seniman, bukan karena persoalan keuangan, tetapi karena nilai yang semakin besar diberikan kepada publikum. Publikum yang telah jenuh dengan ide-ide dan ideal-ideal besar dan rumit, yang dihimpit dunia industri dan mesin, kini lebih membutuhkan kisah-kisah yang irasional tentang roh dan arwah, tentang keanehan-keanehan alam dan pengalaman manusia.
Fiedler memberikan ciri sastrawan post-moderen sebagai sastrawan yang berpijak di dua dunia: dunia teknik dan dunia keanehan, dunia rasional dan dunia mithos, dunia yang santun dan dunia erotik. Yang penting adalah bahwa sastra post-moderen ini tidak meniadakan yang satu atas ongkos yang lain, tetapi dia menjembatani. Yang ada di sana adalah pluralitas paham dan bahasa. Orang tidak menawarkan satu nilai, tetapi sejumlah nilai dan konsep ditawarkan secara serentak. Salah satu contoh yang bisa diangkat adalah roman besar karya sastrawan Italia Umberto Eco, yang pernah disebutkan kali lalu. Eco menyebut roman ini secara eksplisit sebagai roman postmoderen. Di dalam roman ini dibicarakan tentang kemungkinan menemukan sebuah buku tentang tertawa karya Aristoteles. Ada berita bahwa Aristoteles pernah membahas masalah tertawa dan menilainya sebagai sesuatu yang tinggi. Buku itu ternyata ada dan disimpan secara sangat rahasia oleh seorang rahib benediktin yagn sangat tua di sebuah biara. Setiap orang yang tampaknya mencurigakan, akan mati secara misterius di dalam biara itu. Karena beberapa peristiwa kematian yang meninggalkan tanda tanya besar itu, maka diutus seorang fransiskan untuk membuat penelitian di sana. Hasil penelitiannya akan mempengaruhi inquisitio. Biarawan fransiskan datang ke sana bersama seorang novisnya, yang kemudian bersahabat intim dengan seorang gadis yang datang mengais makanan di tempat sampah biara itu. Ketika sedang berhubungan seks, obor yang dibawa gadis itu menyulut gandung kering yang tak jauh dari sana. Terjadilah kebakaran yang hebat. Seluruh biara itu hancur dilalap api. Namun ada seorang bruder yang mengintip hubungan kedua orang muda ini. Dalam sebuah proses yang akhirnya dijatuhi hukuman mati adalah gadis itu dan bruder. Eco menempatkan secara paralel dan cemerlang intelektualitas dan kenikmatan, askese dan seks, abad pertengahan dan zaman sekarang, esktase mistis dan analisis kiriminal. Roman ini memberikan banyak kemungkinan untuk lompat pagar, dia membuka banyak cela supaya orang berkelana dengan gagasan dan perasaannya sendiri.
Dengan ini pengertian post-moderne di dalam sastra mencapai sebuah kejelasan. Dia tidak lagi merupakan satu ungkapan keputusasaan, tetapi sebuah gaya baru yang merangkul di dalam dirinya berbagai gaya. Di mana ada pluralitas gaya di dalam satu karya, di sana orang berbicara tentang post-modernisme. Ini bukan sesuatu yang negatif, tetapi sesuatu yang positif, sebab dia sanggup menawarkan sesuatu secara serentak untuk berbagai kelas masyarakat dan konsep moral dalam satu karya. Untuk musik ada beberapa contoh bisa disebutkan: beberapa tahun lalu ada sebuah kaset yang sangat laris buatan sebuah perusahaan musik Jepang. Musik itu warna dasarnya diambil dari musik gregorian sebagaimana dinyanyikan di dalam sebuah biara benediktin di Spanyol Selatan. Tetapi ada dentuman dentuman-dentuman bas yang berat yang adalah bagian sebuah musik metallic. Selera orang yang sering menyebut diri sebagai “orang berbudaya” disejajarkan dengan selera anak muda dalam disko-disko. Gaya yang sama ditawarkan dari Vatikan! Menjelang tahun 2000 diedarkan sebuah CD berisi beberapa lagu yang dinyanyikan Paus tetapi dengan iringan musik untuk disko. Yang terakhir ini ternyata bukan merupakan contoh yang baik, sebab penyejajaran kurang klop. Masih ada jarak yang agaknya tak terlompati antara suara berat dan cenderung fals dari seorang Paus dan irama musiknya.




[1] Perry Anderson, Asal-Usul Postmodernitas, hlm. 7-9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar