IMMANUEL LEVINAS
Levinas memiliki
suatu perumusan yang amat menarik tentang ‘yang lain’ yakni “dia yang lain
adalah yang bukan aku”.[1]
Hal ini menunjukan bahwa ‘yang lain’ sungguh-sungguh ‘yang lain’ dari aku.
Untuk memahami yang lain aku tidak dapat memulainya dari diriku.[2] Dengan
demikian yang lain adalah yang dipahami tanpa konteks, landas pijak tertentu,
dan kalaupun ada, landasan itu tidak lain adalah ‘yang lain’ sendiri.
Yang lain itu
merupakan ‘yang lain’ karena keberlainannya merupakan fakta heteronom yang niscaya,
dan fakta ini tidak dapat dibantah.[3] Eksistensi
‘yang lain’ adalah keberlainannya. Keberlainan di sini mesti dipahami sebagai
yang radikal. Ketika ‘yang lain’ dipahami sebagai yang sungguh radikal, kita
sesungguhnya tidak akan pernah bisa memahami yang lain secara benar. Segala
bentuk konsep kita terbatas untuk menjelaskan keberlainan yang radikal. Levinas
menggunakan terminus ‘yang tak berhingga’(infinty)[4]
untuk menunjukan bahwa keberlainan merupakan suatu karakteristik-bukan sekedar
ciri-dari ‘yang lain’ sebagai yang transenden. The infinite is the absolutely other-yang tidak terbatas adalah
yang secara absolut lain.[5]
Levinas
memandang bahwa ‘yang lain’ adalah yang tidak berhingga. Hal ini berarti bahwa
yang lain pada dasarnya merupakan yang eksterior. Ia berada di luar diriku dan
melampaui kesanggupan-kesanggupanku (facultas)
untuk memahaminya karena ia tidak dapat dipersandingkan dengan segala apapun.[6] Meski
demikan, ‘yang lain’ yang tidak terbatas itu senantiasa menampakan dirinya atas
cara tertentu. Sebagai realitas yang terbatas aku tidak memiliki pilihan selain
terarah kepadanya.
Yang lain itu
menampakan dirinya dalam apa yang dinamakan dengan ‘wajah’ (visage).[7] Levinas
melihat wajah menghasilkan dan memiliki maknanya sendiri; sesuatu yang singular;
tak terbandingkan. Politik yang etis adalah pertemuan manusia dengan manusia
lainnya yang tidak saling menundukan karena menyadari bahwa ‘wajah’ menolak
untuk ditundukan. Inilah yang menjadi suatu dasar bagi etika politik Levinas.[8] Dibalik
setiap pertemuan manusia, ‘wajah’ hadir sebagai dimensi yang tidak terbatas
yang senantiasa menggugah kesadaran manusia untuk menuju kepadanya.
Bagi Levinas
wajah selalu mewartakan ketelanjangan sebagai yang lemah, miskin, “janda dan
yatim piatu”.[9]
Ketidakberdayaan demikian merupakan suatu faktum serentak suatu vokasi yang
berseru menuntut pertanggungjawaban manusia (responsibility). Dengan demikian, keterarahan pada ‘wajah’ dalam
konteks ini bukanlah suatu keterarahan yang bersifat ontologis melainkan
metafisis.
[1] Immanuel Levinas . Totality and
Infinity: An Essay on Exteriority, A. Lingis (Penterj.). Dordrecht/Boston/London:
Kluwer Academic Publishers, 1991.
, p.
23.
[5]Ibid.
[6] Felix Baghi . Alteritas, Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan. Etika Politik
dan Postmodernisme. Maumere: Ledalero, 2012.
p. 35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar